Kritik Sanad Dan Matan

Makalah Penelitian Sanad Dan Matan ( Kritik Sanad Dan Matan )

A. Pendahuluan

Hadis merupakan sumber hukum Islam yang pertama setelah Alquran. Dan selain berkedudukan sebagai sumber hukum juga berfungsi sebagai penjelas, perinci dan penafsir Alquran, oleh karena itu otentisitas sumber Hadis adalah hal yang sangat penting.

Untuk mengetahui otentik atau tidak nya sumber Hadis tersebut maka kita harus mengetahui dua unsur yang sangat penting yaitu sanad dan matan. Kedua unsur tersebut mempunyai hubungan fungsional yang dapat menentukan eksistensi dan kualitas suatu Hadis. Sehingga sangat wajar manakala para muhadditsin sangat besar perhatiannya untuk melakukan penelitian, penilaian dan penelusuran Hadis dengan tujuan untuk mengetahui kualitas Hadis yang terdapat dalam rangkaian sanad dan matan yang diteliti, sehingga Hadis tersebut dapat dipertanggungjawabkan keotentikannya. Hal itu dilakukan oleh Muhadditsin karena mungkin ia menyadari bahwa perawi Hadis adalah manusia sehingga dalam dirinya terdapat keterbatasan dan kelemahan serta kesalahan.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka makalah ini mencoba untuk memaparkan bagaimana melakukan penelitian terhadap sanad dan matan Hadis, yang terlebih dahulu kita memahami pengertian, tujuan dan manfaat penelitian sanad dan matan Hadis.



B. Pengertian dan Sejarah Penelitian Sanad dan Matan

Kata penelitian (kritik) dalam ilmu hadis sering dinisbatan pada kegiatan penelitian hadis yang disebut dengan al Naqd (ا لنـقـد ) yang secara etimologi adalah bentuk masdar dari ( نقـد ينقـد ) yang berarti mayyaza, yaitu memisahkan sesuatu yang baik dari yang buruk.[1] Kata al Naqd itu juga berarti “kritik” seperti dalam literatur Arab ditemukan kalimat Naqd al kalam wa naqd al syi’r yang berarti “ mengeluarkan kesalahan atau kekeliruan dari kalimat dan puisi[2] atau Naqd al darahim yang berarti : تمييزالدراهم واخراج الزيف منها (memisahkan uang yang asli dari yang palsu ).

Di dalam ilmu Hadis, al Naqd berarti :
تمييز الاحاديث الصحيحة من الضعيفة والحكم على الرواة توثيقا وتجريحا

“Memisahkan Hadis-Hadis yang shahih dari dha’if, dan menetapkan para perawinya yang tsiqat dan yang jarh (cacat) “[3]

Jika kita telusuri dalam Alquran dan Hadis maka kita tidak menemukan kata al Naqd digunakan dalam arti kritik, namun Alquran dalam maksud tersebut menggunakan kata yamiz yang berarti memisahkan yang buruk dari yang baik[4]

Obyek kajian dalam kritik atau penelitian Hadis adalah : Pertama, pembahasan tentang para perawi yang menyampaikan riwayat Hadis atau yang lebih dikenal dengan sebutan sanad, yang secara etimologi mengandung kesamaan arti dengan kata thariq yaitu jalan atau sandaran sedangkan menurut terminologi, sanad adalah jalannya matan, yaitu silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama.[5]Maka pengertian kritik sanad adalah penelitian, penilaian, dan penelusuran sanad Hadis tentang individu perawi dan proses penerimaan Hadis dari guru mereka dengan berusaha menemukan kesalahan dalam rangkaian sanag guna menemukan kebenaran yaitu kualitas Hadis.

Kedua, pembahasan materi atau matan Hadis itu sendiri. Yang secara etimologi memiliki arti sesuatu yang keras dan tinggi (terangkat) dari tanah[6]. Sedangkan secara terminologi, matan berarti sesuatu yang berakhir padanya (terletak sesudah) sanad, yaitu berupa perkataan[7].Sehingga kritik matan adalah kajian dan pengujian atas keabsahan materi atau isi hadis.

Apabila kritik diartikan hanya untuk membedakan yang benar dari yang salah maka dapat dikatakan bahwa kritik Hadis sudah dimulai sejak pada masa Nabi Muhammad, tapi pada tahap ini , arti kritik tidak lebih dari menemui Nabi saw dan mengecek kebenaran dari riwayat (kabarnya) berasal dari beliau. Dan pada tahap ini juga, kegiatan kritik Hadis tersebut sebenarnya hanyalah merupakan konfirmasi dan suatu proses konsolidasi agar hati menjadi tentram dan mantap[8] Oleh karena itu kegiatan kritik hadis pada masa nabi sangat simple dan mudah, karena keputusan tentang otentisitas suatu hadis ditangan nabi sendiri.

Lain halnya dengan masa sesudah nabi wafat maka kritik Hadis tidak dapat dilakukan dengan menanyakan kembali kepada nabi melainkan dengan menanyakan kepada orang atau sahabat yang ikut mendengar atau melihat bahwa Hadis itu dari nabi seperti : Abu Bakar al-Shidiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Yhalib, Aisyah dan Abdullah Ibn Umar.

Pada masa Sahabat, kegiatan kritik Hadis dilakukan oleh Abu Bakar al shidiq. Seperti yang dikatakan oleh Al Dzahabi bahwa “ Abu Bakar adalah orang pertama yang berhati-hati dalam menerima riwayat hadis” dan juga yang dikatakan oleh Al Hakim bahwa “ Abu Bakar adalah orang pertama yang membersihkan kebohongan dari Rasul SAW”.

Sikap dan tindakan kehati-hatian Abu Bakar telah membuktikan begitu pentingnya kritik dan penelitian Hadis. Diantara wujud penerapannya yaitu dengan melakukan perbandingan di antara beberapa riwayat yang yang ada seperti contohnya :

“Pengalaman Abu Bakar tatkala mengahadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika ada seorang nenek menghadap kepada khalifah Abu Bakar yang meminta hak waris dari harta yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa kami tidak melihat petunjuk al Quran dan praktik nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Kemudian Abu Bakar bertanya kepada para sahabat, al Mughirah Ibn Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian harta waris kepada nenek sebesar seperenam bagian. Al Mughirah mengaku hadir pada waktu Nabi menetapkan kewarisan nenek tersebut. Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta agar al Mughirah menghadirkan saksi tentang riwayat yang sama dari rasul SAW, maka Muhammad Ibn Maslamah memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan al Mughirah dan akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan hadis nabi yang disampaikan oleh al Mughirah”

Setelah periode Abu Bakar, maka Umar bin Khattab melanjutkan upaya yang dirintis pendahulunya dengan membakukan kaidah-kaidah dasar dalam melakukan kritik dan penelitian Hadis. Ibn Khibban menyatakan bahwa sesungguhnya Umar dan Ali adalah sahabat yang pertama membahas tentang para perawi Hadis dan melakukan penelitian tentang periwayatan Hadis, yang kegiatan tersebut kemudian dilanjutkan para ulama setelah mereka.

Demikian pula Aisyah, Abdullan ibn Umar Abu ayyub al Anshari serta sahabat lainnya juga melakukan kritik Hadis, terutama ketika menerima riwayat dari sesama sahabat, seperti yang dilakukan Abu Ayyub al Anshari dengan melakukan perjalanan ke Mesir hanya dalam rangka mencocokkan sebuah Hadis yang berasal dari ‘Uqbah ibn Amir.

Seiring dengan perluasan daerah Islam, Hadis pun mulai tersebar luas ke daerah-daerah di luar Madinah sehingga mendorong lahirnya pengkajian dan penelitian Hadis seperti di Madinah dan Irak. Kegiatan itu pasca sahabat dilanjutkan para tabi’in yang berkonsentrasi pada kedua daerah tersebut.[9]

Menurut Ibn Khibban yang dikutip oleh M.M.Azamai[10]bahwa setelah Umar dan Ali di Madinah pada abad pertama Hijrah muncul tabi’in kritikus Hadis antara lain : Ibn al Musayyab (w.93H), al Qasim bin Muhammad bin Umar (W.106H), Salim bin Abdullah bin Umar (w.106H), Ali bin Husain bin Ali (w.93H), Abu Sulamah bin Uthbah , Kharidjah bin Zaid bin Tsabit (w.100H), Urwah bin az Zubair (w.94H), Abu Bakar bin Abdurrahman bin al Harist (w.94H) dan Sulaiman bin Yasir (w.100 H). Setelah mereka muncul murid-muridnya di Madinah pada abad kedua yaitu tiga ulama kritikus hadis yaitu : az Zuhri, Yahya bin Said dan Hisyam bin Urwah.

Sedangkan di Irak, yang terkemuka antara lain adalah : Said bin Jubair, asy sya’bi, thawus, Hasan al Bashri (w.110H) dan ibn Sirrin (w.110H), setelah itu muncul Ayyub as Sakhtiyani dan ibn ‘Aun.

Setelah berakhirnya periode Tabi’in, maka kegiatan kritik dan penelitian Hadis memasuki era perluasan dan perkembangannya ke berbagai daerah yang tidak terbatas. Sehubungan dengan itu muncul beberapa ulama kritik Hadis, antara lain : Sufyan ats Tsuri dari Kuffah (97-161H), Malik bin Anas dari Madinah (93-179H), Syu’bah dari Wasith (83-100H), al Auza’I dari Beirut (88-158H), hamad bin salamah dari Bashrah(w.167H), Al laits bin Sa’ad dari Mesir (w.175H), Ibn Uyaianah dari Mekah (107-198H), Abdullah bin al Mubarak dari marw(118-181H), Yahya bin Sa’id al Qathan dari Basrah (w.192H), Waki’ bin al Jarrah dari Kuffah (w.196H), Abdurrahman bin Mahdi dari Basrah (w.198H) dan Asy Syafi’I dari Mesir (w.204H).

Ulama-ulama tersebut di atas pada gilirannya melahirkan banyak ulama mashur di bidang kritik Hadis, antara lain : Yahya bin Ma’in dari Baghdad (w.233H), Ali bin al Madini dari Basrah (w.234H), Ibn Hanbal dari Baghdad (w.241H), Abu Bakar bin Abu Syaibah dari Wasith (w.235H), Ishak bin Rahawaih dari Marw (w.238H) dan lain-lain. Murid-murid dari mereka itu yang tersohor adalah antara lain : Adz Dzuhali, Ad Darimi, Al Bukhari, Abu Zur’ah ar Razi, Abu Hatim ar Razi, Muslim bin al Hajjaj an Nisaburi dan Ahmad bin Syu’aib.


C.Tujuan dan Manfaat Penelitian Sanad dan Matan

Tujuan pokok dari penelitian sanad dan matan Hadis adalah untuk mengetahui kualitas suatu Hadis, karena hal tersebut sangat fungsional berhubungan dengan kehujjahan Hadis. Suatu Hadis dapat dijadikan hujjah (dalil) dalam menetapkan hukum apabila Hadis tersebut telah memenuhi syarat-syarat diterimanya (maqbul) suatu Hadis.[11]Adapun Hadis yang perlu diteliti adalah Hadis yang berkategori ahad, yaitu yang tidak sampai kepada derajat mutawatir, karena Hadis kategori tersebut berstatus Zhanni al Wurud.[12]

Sedangkan terhadap Hadis mutawatir, para ulama tidak menganggap perlu untuk melakukan penelitian lebih lanjut, karena Hadis kategori tersebut telah menghasilkan keyakinan yang pasti bahwa Hadis tersebut berasal dari Nabi SAW, meski demikian tidaklah berarti bahwa terhadap Hadis mutawatir tidak dapat dilakukan penelitian lagi. Jika hal itu dilakukan hanya bertujuan untuk membuktikan bahwa benar Hadis tersebut berstatus mutawatir, bukan untuk mengetahui kualitas sanad dan matan nya sebagaimana yang dilakukan terhadap Hadis ahad.


D.Faktor-faktor yang Mendorong Penelitian Sanad dan Matan

Adapun faktor-faktor yang mendorong perlunya penelitian sanad dan matan diantaranya adalah[13]:

1.Kedudukan Hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam

Diterimanya Hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam merupakan keniscayaan, karena begitu luas ruang lingkup Alquran di satu sisi dan keterbatasan manusia manusia dalam memahami Alquran di sisi yang lain. Maka terhadap hal ini Nabi Muhammad SAW bertugas menjelaskan secara rinci dan juga mendapat legitimasi dari Allah dan umat pengikutnya berkewajiban mengikutinya. Ayat Alquran yang berkaitan dengan perintah tersebut antara lain :

a.Q.S. al Hasyr ayat 7

… apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.

b. Q.S. al Imran ayat 32

Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".

2. Tidak seluruh Hdis ditulis pada masa nabi SAW

Bahwa Hadis nabi lebih sedikit yang ditulis dibanding dengan yang diriwayatkan secara hafalan di kalangan para sahabat dan itu pun belum mendapat pengujian (cek ulang) di hadapan Nabi SAW, sehingga Hadis Nabi, baik yang telah maupun yang belum di tuliskan pada masa Nabi SAW perlu di lakukan penelitian lebih lanjut terhadap para perawi dan periwayatannya sehingga tingkat validitasnya suatu riwayat dapat dibuktikan.

3. Munculnya Pemalsuan Hadis

Berbagai faktor yang mendorong pemalsuan Hadis menyebabkan banyak bermunculan Hadis-hadis palsu, akhirnya umat Islam mengalami kesulitan untuk mengetahui Hadis yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dan yang asli berasal dari Nabi SAW. Oleh karena itu mendorong kegiatan penelitian Hadis semakin penting.

Dalam kaitan ini, ulama Hadis bekerja keras dan dengan kesungguhan menyelamatkan Hadis-hadis Nabi SAW, yaitu berupa penyusunan beberapa kaidah dan ilmu Hadis secara ilmiah untuk dapat di pergunakan penelitian Hadis. Sehingga sanad Hadis menjadi sanngat penting, begitu juga dengan penelitian terhadap pribadi para perawi yang telah memperoleh suatu Hadis adalah bagian terpokok dalam penelitian Hadis. Oleh Karena itu kegiatan penting yang dilakukan para ulama Hadis, selain penghimpunan Hadis adalah juga pengkajian sejarah para perawi Hadis itu sendiri.

4. Lamanya Masa Pengkodifikasian Hadis.

Pengkodifikasian Hadis secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd Aziz (99 – 101 H). Muhammad ibn Muslim ibn Syihab az Zuhri adalah satu diantara ulama yang berhasil melaksanakan perintah khalifah Umar ibn Abd Aziz dalam penghimpunan Hadis, dan hasil karyanya tersebut selanjutnya di kirim oleh Khalifah ke berbagai daerah untuk dijadikan bahan penghimpunan Hadis selanjutnya.

Jarak waktu antara masa penghimpunan Hadis dengan masa Nabi SAW yang cukup lama, mengakibatkan Hadis-hadis yang terhimpun dalam berbagai kitab menuntut penelitian yang seksama dari Hadis yang tidak dapat dipertanggung jawabkan ke shahihan nya.

5. Beragamnya Metode Penyusunan Kitab-Kitab Hadis.

Tidak seragamnya metode dan sistimatika penyusunan kitab-kitab Hadis pada masa penghimpunan , maka para ulama Hadis menilai dan membuat kreteria tentang peringkat kualitas kitab-kitab Hadis, seperti : al Kutub al Khamsah, al Khutub al Sittah dan al Kutub al Sab’ah, yaitu berupa kita-kitab Hadis yang standar. Kreteria yang tidak seragam tersebut selanjutnya akan menghasilkan kualitas Hadis-hadisnya tidak selalu sama. Oleh karena itu untuk mengetahui kesahihan suatu Hadis yang termuat dalam kitab-kitab tersebut maka diperlukan adanya penelitian. Kegiatan penelitian tersebut akan dapat menentukan kualitas para periwayat yang termuat dalam berbagai sanad, apakah memenuhi syarat atau tidak.

6. Adanya Periwayatan Hadis Secara makna

sebagian sahabat ada yang membolehkan periwayatan Hadis secara makna, seperti Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Mas’ud, Anas ibn Malik, Abu Hurairah dan Aisyah serta sahabat yang lain secara ketat melarang periwayatan hadis secara makna, seperti : Umar ibn al Khattab, Abdullah ibn Umar dan Zaid ibn Arqam.

Kalangan sesudah sahabat terdapat juga para ulama yang membolehkan periwayatan Hadis secara makna, namun dengan syarat-syarat tertentu, seperti perawi yang bersangkutan harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentanng bahasa Arab, Hadis yang diriwayatkan bukan bacaan yang bersifat ta’abbudi seperti bacaan shalat dan periwayatan secara makna mengindikasikan bahwa Hadis tersebut memiliki matan tertentu dari Rasul SAW. Sementra itu untuk mengetahui kandungan petunjuk dari suatu Hadis, terutama Hadis Qauli, terlebih dahulu harus mengetahui redaksi Hadis yang bersangkutan. Sehingga sangat perlu dilakukan penelitian Hadis.


E. Bagian-Bagian Yang Harus Diteliti : Sanad dan Matan

Adapun yang menjadi obyek penelitian Hadis adalah sanad Hadis dan matan Hadis ;

1.Sanad Hadis

Keadaan dan kualitas sanad merupakan hal yang pertama sekali diperhatikan dan dikaji oleh para ulama Hadis, terutama yang menyangkut nama-nama perawi yang terlibat dalam periwayatan Hadis dan lambang-lambang periwayatan Hadis yang telah digunakan oleh masing-masing perawi dalam meriwayatkan Hadis, seperti : sami’tu, akhbarani, ‘an dan ‘anna. Oleh karena itu apabila sanad suatu Hadis tidak memiliki kreteria yang telah ditentukan seperti tidak adil maka riwayat tersebut langsung ditolak dan selanjutnya penelitian terhadap matan Hadis tidak diperlukan lagi, karena salah satu prinsip yag dipedomani oleh para ulama Hadis adalah bahwa suatu Hadis tidak akan diterima meskipun matan nya kelihatan shahih kecuali disampaikan oleh orang-orang yang adil akan tetapi apabila sanad nya telah memenuhi persyaratan ke shahih an, maka barulah kegiatan penelitian dilanjutkan kepada matan Hadis itu sendiri. Prinsip ulama Hadis itu adalah :

“ Ke shahih an sanad tidak mengharuskan ke shahih an matan suatu hadis “

Agar suatu sanad dapat dinyatakan shahih dan diterima maka harus memiliki syarat-syarat seperti : bersambung ( muttashil), adil dan dhabit. Apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi oleh suatu sanad maka sanad tersebut secara lahir telah dapat dinyatakan shahih. Akan tetapi para ulama hadis menambahkan lagi dua syarat lain guna memperkuat status ke shahih an, yaitu bahwa sanad tersebut tidak syadz dan tidak ber ‘illat.[14]

a. Kebersambungan Sanad (Ittishal al Sanad)

Yang dimaksud sanad bersambung adalah bahwa masing-masing perawi yang terdapat dalam rangkaian sanad tersebut menerima Hadis secara langsung dari perawi sebelumnya, dan selanjutnya dia menyampaikan kepada perawi yang dating sesudahnya. Hal tersebut harus berlangsung dan dapat dibuktikan dari sejak perawi pertama - generasi sahabat yang menerima hadis tersebut langsung dari Rasul Allah SAW ,- samapai kepada perawi terakhir – yang mencatat dan membukukan hadis itu, seperti Bukhari dan lain-lain.

Demikian pula, bahwa di dalam sanad tidak ada perawi yang gugur (munqathi’), tersembunyi (mastur), tidak dikenal (majhul) ataupun samara-samar (mubham). Selain itu, anatara satu perawi dengan perawi lainnya harus dapat dibuktikan bahwa mereka adalah semasa (al mu’asharah) dan telah terjadi pertemuan langsung diantara mereka (al liqa’).

Dalam hal penelitian mengenai kebersambungan sanad, maka ada dua hal yang harus dikaji oleh peneliti Hadis yaitu : sejarah hidup masing-masing perawi dan sighat al tahammul wa al ‘addad. Dalam hal meneliti sejarah hidup perawi, langkah yang dilakukan adalah pencatatan nama-nama seluruh perawi yang terdapat pada sanad, yang selanjutnya dituliskan dalam bentuk rangking yang saling berkaitan sehingga dapat digambarkan peringkat masing-masing perawi seperti ; sahabat, tabi’in, tabi’i al tabi’in dan seterusnya. Dan langkah selanjutnya barulah diteliti riwayat hidup masing-masing perawi dengan memperhatikan hubungan satu perawi dengan perawi lainnya yaitu masa hidupnya, tempat lahir dan daerah-daerah yang pernah dikunjunginya, sumber Hadis yang diterimanya dan muridnya yaitu yang meriwayatkan Hadis, dan selanjutnya meneliti lambang-lambang periwayatan Hadis yang telah digunakan masing-masing perawi.

b.Keadilan Perawi

Yang dimaksud dengan sifat ‘adil disini adalah suatu sifat yang tertanam di dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk senantiasa memelihara ketakwaan, muru’ah (moralitas), sehingga menghasilkan jiwa yang percaya dengan kebenarannya yang ditandai dengan sikap menjahui dosa-dosa besar dan dari sejumlah dosa kecil.

Adapun untuk mengetahui keadilan seorang perawi Hadis, dapat dilakukan dengan cara :
  • Melalui pemeberitahuan para kritikus Hadis atau dalam istilah ibn Shalah dan al Nawawi adalah melalui pernyataan dua orang mu’addil.
  • Melalui popularitas yang dimiliki seorang perawi bahwa dia adalah seorang adil, sepertio Malik ibn Abbas atau Sufyan al Tsuri
  • Apabila terdapat berbagai pendapat para ulama mengenai status keadilan seorang perawi, seperti ada yang menyatakan adil dan ada juga yang menyatakan jarh maka permasalahan ini harus diselesaikan dengan mempedomani kaidah dalam ‘Ilm al jarh wa al Ta’dl sehingga dapat ditarik kesimpulan mengenai keadilannya.

c. Ke dhabit an Perawi

Al dhabit atau ke dhabit an seorang perawi dalam terminologi ulama Hadis adalah ingatan (kesadaran) seorang perawi hadis semenjak dia menerima Hadis, melekat (setia) nya apa yang dihafalnya di dalam ingatannya dan pemeliharaan tulisan (kitab) nya dari segala macam perubahan sampai dia menyampaikan (meriwayatkan) Hadis tersebut.

Untuk mengetahui ke dhabit an seorang perawi Hadis dapat dilakukan melalui cara-cara berikut:
  • Berdasarkan kesaksian atau pengakuan ulama yang sezaman dengannya.
  • Berdasarkan kesesuaian riwayat yang disampaikan dengan riwayat dengan riwayat para perawi lain yang tsiqat atau yang telah dikenal ke dhabit annya.
  • Apabila dia sekali-kali mengalami kekeliruan, hal tersebut tidaklah merusak ke dhabit annya, namun apabila sering maka dia tidak lagi disebut sebagai seorang yang dhabit dan riwayatnya tidak dapat dijadikan sebagi hujjah.[15]
Tingkat ke dhabit an yang dimiliki oleh para perawi tidaklah sama, hal ini disebabkan oleh perbedaan kesetiaan daya ingat dan kemampuan pemahaman yang dimiliki oleh masing-masing perawi

Setelah dilakukan langkah-langkah penelitian diatas dan diperoleh kesimpulan bahwa sanad suatu Hadis adalah shahih, maka langkah penelitian selanjunya adalah penelitian terhadap matan Hadis yang bersangkutan.

2. Matan Hadis

Suatu matan Hadis yang sampai ke tangan kita sangat berkaitan dengan sanad nya, sementara keadaan sanad itu sendiri memerlukan penelitian secara cermat. Oleh karena itu penelitian terhadap matan juga diperlukan, karena tidak hanya adanya keterkaitan dengan sanad, tetapi karena adanya periwayatan Hadis secara makna.

Penelitian matan, pada dasarnya dapat dilakukan dengan pendekatan semantik dan dari segi kandungan Hadis.[16]Bahwa penelitian matan dengan pendekatan semantik tidak mudah untuk kita lakukan, karena matan Hadis yang sampai ke tangan mukharrij nya masing-masing telah melalui sejumlah perawi yang berbeda generasi dan latar belakang budaya serta kecerdasan, sehingga selanjunya adalah menyebabkan terjadinya perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata ataupun istilah. Meskipun demikian, pendekatan bahasa juga sangat diperlukan, karena bahasa Arab lah yang digunakan oleh Nabi SAW dalam menyampaikan berbagai Hadis selalu dalam susunan yang baik dan benar.

Dan dari segi kandungan Hadis memerlukan pendekatan rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Oleh karenanya ke shahih an matan Hadis dapat di lihat dari sisi rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam disamping dari sisi bahasa.

Namun pada umumnya, dalam penelitian (kritik matan) dilakukan perbandingan-perbandingan, seperti : memperbandingkan antara Hadis dengan Alquran, Hadis dengan Hadis dan sebagainya.[17]

Perbandingan antara Hadis dengan Alquran

Dalam hal ini yang diteliti adalah kesesuaian antara matan Hadis dengan Alquran. Apabila matan suatu Hadis bertentangan dengan ayat Alquran dan keduanya tidak mungkin dikompromikan, dan tidak dapat pula diketahui kronologi datangnya, seperti, mana yang datang duluan dan mana yang kemudian sehingga dapat dijadikan dasar dalam penetapan nash, serta keduanya juga tidak mengandung takwil, maka Hadis tersebut tidak dapat diterima dan dinyatakan sebagai Hadis dhaif.[18]

Hadis-hadis yang berkemungkinan mengandung pertentangan dengan Alquran meliputi bidang-bidang ketuhanan, kenabian, tafsir, pembalasan amal perbuatan manusia dan masalah-masalah ke akhiratan. Contoh Hadis tersebut adalah yang diriwayatkan Abu Dawud dari Shalih:

و لد الزنا شر الثلا ثة “ Anak zina adalah salah satu dari tiga keburukan “

Hadis tersebut ditolak karena karena kandungan hadis tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT dalam al Quran surat al An’am ayat 164 : “ Seorang yang membuat dosa kemudharatannya tidak lain hanyalah kembali kepada dirinya sendiri, dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain “

Sehingga para ulama hadis sepakat menyatakan bahwa hadis Abu Hurairah diatas adalah tidak shahih. Perbandingan Beberapa Riwayat Tentang Suatu Hadis, Yaitu Perbandingan Suatu Riwayat dengan Riwayat Lain Caranya adalah dengan membandingkan antara beberapa riwayat yang berbeda mengenai suatu Hadis. Dengan cara ini seorang kritikus akan dapat mengetahui beberapa hal, yaitu :

1. Adanya idraj, yaitu lafadz Hadis yang bukan berasal dari Nabi SAW, yang disisipkan oleh salah satu dari perawinya, baik perawi yang berasal dari kalangan sahabat atau yang lainnya

2. Adanya idhthirab, yaitu pertentangan antara dua riwayat yang sama kuatnya sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan tarjih tehadap salah satunya.

3. Adanya al Qalb, yaitu pemutarbalikan matan Hadis, hal ini terjadi karena tidak dhabit nya salah seorang perawi dalam hal matan Hadis. Sehingga dia mendahulukan atau mengakhirkan lafadz yang seharusnya tidak demikian atau ada pengubahan (tashif dan tahrif) yang merusak matan Hadis.

4. Adanya penambahan lafazh dalam sebagian riwayat atau disebut dengan ziyadah al tsiqat.[19]


Perbandingan Matan Hadis denngan Hadis Yang lainnya.

Para ulama Hadis telah sepakat bahwa tidak diterimanya suatu Hadis yang bertentangan dengan Hadis yang telah mempunyai status yang tetap dan jelas (al Sharihah al Tsabithah), bahwa sabda Nabi SAW tidak bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, oleh karena itu apabila ditemukan pertentangan antara satu sabda Nabi SAW dengan sabda beliau yang lain maka dalam hal ini pasti terjadi suatu kekeliruan dalam penukilannya atau kurang sempurnanya para perawi dalam meriwayatkan sabda atau perbuatan Nabi tersebut, atau karena periwayatan dengan makna yang jauh menyimpang dari teks aslinya atau karena perawi merafa’ kan (menyandarkan kepada Nabi SAW) sesuatu yang bukan merupakan sabda Nabi SAW.

Untuk mengatasi (menolak ) riwayat seperti tersebut diatas maka terlebih dahulu terpenuhi dua syarat berikut[20] :

1. Apabila kedua Hadis tersebut dapat dikompromikan tanpa adanya kesan pemaksaan maka keduanya dapat dijadikan hujjah. Apabila tidak dapat dikompromikan maka harus dilakukan tarjih, dengan menentukan mana Hadis yang kuat (marjuh) dan mana yang lemah (rajih).

2. Melihat salah satu Hadis yang sifat periwayatannya mutawatir, apabila telah jelas status Hadis tersebut maka dapat dijadikan sebagai sandaran dibandingkan Hadis yang status periwayatannya kurang jelas.


Perbandingan Matan Hadis Dengan Berbagai Peristiwa Yang Dapat Diterima Akal Sehat, Panca Indera atau Berbagai Peristiwa Sejarah

Apabila matan Hadis bertentangan dengan akal sehat, pengamatan panca indera dan berbagai fakta sejarah yang kejadiannya tidak jelas maka matan Hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujjah. Contoh hadis yang bertentangan dengan akal sehat, dirawikan adalah :

عن ابي هر يرة قالي قال رسول الله لا يد خل الفقر بيتا فيه اسمى :
Contoh Hadis yang bertentangan dengan pengamatan panca indera, dirawikan at Tirmidz adalah :

عن ابن عباس ان رسول الله قال الحجر السود من الجنة وهوا اشد بياصا من اللبن فسودته خطايا بنى ادم
Contoh Hadis yang bertentangan dengan fakta sejarah, dirawikan al Hakim adalah :

عن على رضى الله عنه قال عبدت ا لله مع رسول الله سبع سنين قبل ان يعبده احد من هذه الامة

Para ulama Hadis sepakat menolak matan Hadis tersebut karena bertentangan dengan fakta sejarah sebagaimana yang dinyatakan oleh ad Dzahabi, bahwa setelah Nabi SAW menerima wahyu kemudian beliau langsung menyampaikannya kepada Khadijah, Abu Bakar, Zaid ibn Haritsah dan juga Ali. Oleh Karena itu mereka semuanya masuk Islam dalam waktu yang hampir berdekatan, tidak hanya seorang Ali sendiri saja yang menerimanya pada waktu itu.


Kritik Hadis Yang Tidak Menyerupai Kalam Nabi

Kadang-kadang kita akan temukan matan Hadis yang maknanya secara eksplisit tidak bertentangan dengan Alquran, Sunnah Nabi yang telah berkedudukan tetap, akal, pengamatan panca indera atau fakta sejarah. Namun setelah diteliti lebih lanjut ternyata matan dan makna Hadis tersebut tidak menyerupai kalam Nabi. Dalam hal ini, para Ulama Hadis telah memberikan patokan dalam menentukan bahwa suatu riwayat itu tidak menyerupai kalam Nabi, yaitu :

- Riwayat yang memuat spekulasi tinggi yang tidak ada ukuran dan pertimbangannya (mujazafah)
- Riwayat yang memuat susunan kata yang kacau, tidak sempurna atau tidak beraturan (rakakah)
- Riwayat yang memuat istilah-istilah yang dipergunakan oleh generasi yang dating jauh setelah masa Rasul Allah SAW atau pada masa modern ini.[21]

Kritik Hadis yang Bertentangan Dengan dasar Syari’ah Dan Kaidah yang Telah Tetap (baku)

Matan Hadis yang bertentangan dengan syari’ah dan kaidah yang telah baku dalam Islam maka statusnya tidak shahih dan tidak boleh disandarkan kepada Rasulullah, misalnya matan Hadis :

لا يد خل الجنة ولد زنى ولا وا لده ولا ولد ولده “ Tidak akan masuk surga anak zina, ayahnya, dan cucunya “

Matan Hadis tersebut bertentangan dengan ayat Alquran yang menyatakan tentang seorang tidak berhak menanggung dosa orang lain atau dengan kata lain ada dosa warisan dalam Islam.


Kritik Hadis Yang Mengandung Hal-Hal Yang Munkar Atau Mustahil

Yang dimaksud dengan munkar disini adalah suatu kalimat atau pernyataan yang tidak mungkin lahir dan berasal dari Nabi SAW atau para Nabi yang lain. Sedangkan hal yang mustahil adalah mustahil pada dzat Allah dan hubungannya dengan manusia meski tidak mustahil apabila dikaitkan dengan kekuasaan Allah. Contoh riwayat tersebut adalah :

قيل يا رسول الله مما ربنا قال لا من الارض ولا من السماء خلق خيلا فا خبراها فعرقت فخلق نفسه من ذالك العرق

“Rasul ditanya seseorang tentang dari mana Tuhan kita berasal? Rasul menjawab (Tuhan kita) tidak berasal dari bumi dan juga tidak dari langit. Dia menciptakan seekor kuda maka kuda itu dijalankannya sehingga berkerinngat, maka dijadikan dirinya dari keringat itu “


Kesimpulan

Kualitas suatu Hadis sangat ditentukan oleh kedudukan sanad dan matan Hadis. Apabila sanad nya sahih dan matan nya sahih maka Hadis tersebut dapat diketegorikan sebagai Hadis Shahih serta dapat dijadikan sebagai hujjah. Sebaliknya apabila sanad dan matan nya tidak sahih maka dikategorikan Hadis dhaif dan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.

Para ulama Hadis berusaha membuat metodologi untuk mennganalisis keberadaan suatu Hadis. Hal ini dilakukan karena secara histories hadis mengalami perkembangan yang signifikan dengan tendensi tertentu sehingga berujung pada tercampur aduknya Hadis yang memang bersumber langsung dari Rasulullah SAW dengan Hadis yang bersumber dari individu atau kelompok tertentu. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka diformulasikan beberapa pedoman untuk menguji dan menganalisis kualitas sanad dan matan Hadis.


DAFTAR PUSTAKA
  • ‘Azami, M.M. Manhaj al Naql ‘inda al Muhadditsin : Nasy’atuhu wa Tarikhutuhu. Riyadh:Maktabat al Kautsar, cet.III,1990
  • ---------Memahami Ilmu Hadis : Telaah Metodologi dan Literatur Hadis (terj) Studies in Hadith Methodology and Literature. Jakarta :Lentera, cet.III., 2003.
  • Bustamin dan M.Isa H.A.Salam. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta:Raja Grafindo Persada, cet.I, 2004.
  • Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta:Bulan Bintang,1992.
  • ---------, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta :Bulan Bintang,cet.III,1995.
  • Khatib, Ajjaj. Ushul al Hadist (terj) oleh Qadirun Nur dan Akhmad Musyafiq. Jakarta Gaya Media Pratama,cet.I 1998.
  • Thahan, Mahmud. Ulumul Hadis. Jakarta : Titian Ilahi Press, cet.VII,1997.
  • Yuslem,Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta : Mutiara Sumber Widya, cet.I.2001.
  • .Al Munjid fi al-Lughat wa al-A’lam. Beirut : Dar al Masyriq,cet.34,1994.
______________________
[1] Al Munjid fi al-Lughat wa al-A’lam ( Beirut : Dar al Masyriq, , 1994), cet 34. h.830.
[2] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta : Mutiara Sumber Widya, , 2001) cet I. h. 329.
[3] M.M ‘Azami, Manhaj al Naql ‘inda al Muhadditsin : Nasy’atuhu wa Tarikhutuhu (Riyadh : Maktabat al Kautsar, 1990) cet.III, h.5.
[4] QS 3 Ali Imran 179.
[5] ‘Ajjaj al khatib, Ushul al Hadist (terj) oleh Qadirun Nur dan Akhmad Musyafiq (Jakarta : Gaya Media Pratama,1998), cet I, h.32.
[6] Mahmud at Thahan, Ulumul Hadis (Jakarta : Titian Ilahi Press, 1997) cet VII,h.140.
[7]Ibid
[8] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h.330.
[9] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 329.
[10]M.M.Azami, Memahami Ilmu Hadis : Telaah Metodologi dan Literatur Hadis,terj. Studies in Hadith : Methodology and Literature (Jakarta: Lentera,2003), cet ketiga,h.89-91.
[11] Bustamin dan M.Isa H.A.Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2004),Cet.I,h.7.
[12] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta:Bulan Bintang,1992) h.29.
[13] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hads (Jakarta :Bulan Bintang,1995) cet.II, h.85.
[14]Nawir Yuslem, Ulumul Hadis….h.354.
[15]Ibn as Shalah, Al Suyuti, Ajjaj al Khatib, Al Jawabi dalam Nawir Yuslem, Ulumul Hadis……h.362
[16] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis……h. 364.
[17]Ibid. h. 365 – 384.
[18] Musfir ‘Azm Allah al Damini dalam Nawir Yuslem, Ulumul Hadis….h.366.
[19] Ad Damini dalam Nawir Yuslem, Ulumul Hadis…h. 368.
[20]Ibid
[21] Al Adabi dalam Nawir Yuslem, Ulumul Hadis….h.376













.