Problematika dan Solusi Pelaksanaan Pendidikan Islam Di PTAIS

Makalah Problematika dan Solusi Pelaksanaan Pendidikan Islam Di PTAIS
Oleh: Hery Nugroho

PENDAHULUAN

Sejarah berdirinya PTAIS

Pertumbuhan perguruan tinggi agama Islam (PTAI) tidak lepas dari keberadaan PTAIS. Hal ini bisa dilihat awal berdirinya PTAI ternyata berasal dari PTAIS. Sebenarnya keberadaan PTAIS sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Pada tahun 1930-an, telah muncul hasrat dan cita umat Islam Indonesia untuk mendirikan perguruan tinggi Islam. Menurut Daulay (2004:135) menyebutkan pada saat itu Dr. Satiman bercita-cita untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam di tiga tempat, yakni Jakarta, Solo, dan Jakarta. Kemudian sepuluh tahun berikutnya, tepatnya tanggal 9 Desember 1940 di Padang berdiri Sekolah Islam Tinggi (SIT) yang didirikan oleh persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI), meskipun pada akhirnya ditutup karena pendudukan Jepang pada tahun 1942 (Asrahah, 1999: 204).

Semangat berdirinya Sekolah Tinggi Islam juga tumbuh di Jawa, yakni pada bulan April 1945, Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) menggelar pertemuan dengan mengundang para ulama dan intelektual untuk merencanakan berdirinya Sekolah Tinggi Islam (Darwis, 2006: 26). Ulama dan intelektual yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah KH. Wahid Hasyim, KH. Masykur, KH. Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Anwar Cokroaminoto, Dr. Satiman, KH. Ahmad Sanusi, dan KH. Kahar Mudzakir.

Diantara hasil pertemuan adalah dibentuknya panitia perencana Sekolah Tinggi Islam (STI) yang diketuai Muhammad Hatta. Hasil kerja panitia tersebut adalah didirikannya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta pada tanggal 8 Juli 1945. Tujuan didirikannya STI adalah untuk mencetak ulama intelek yaitu sosok muslim intelektual yang mempunyai ilmu pengetahuan agama yang luas dan mendalam dan sekaligus menguasai ilmu pengetahuan umum yang diperlukan masyarakat modern.

Dalam perkembangan berikutnya, kondisi Jakarta tidak memungkin diselenggarakannya pendidikan tinggi. Hal ini disebabkan Belanda menduduki kembali Kota Jakarta, terpaksa STI di Jakarta dipindahkan ke Yogyakarta dengan nama Universitas Islam Indonesia (UII) dan dibuka tanggal 10 Maret 1948 (Darwis, 2006: 26). Pada saat itu UII memiliki empat fakultas, yakni Fakultas agama, Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Pendidikan, dan Fakultas Ekonomi.

Dari UII telah mengukir dalam sejarah dalam mengawali pengembangan lembaga pendidikan lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia dengan menyerahkan Fakultas Agama UII kepada Negara, akhirnya menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1950 (Hasjmy, 1979: 31). Hal serupa juga terjadi pada UII Cabang Surakarta (sebelumnya bernama Perguruan Tinggi Islam Indonesia) tiga fakultas umum bersama dengaan beberapa fakultas dari swasta yang lain dan IKIP Negeri yang sudah ada menjadi Universitas Negeri Surakarta (UNS) Surakarta.

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa keberadaan PTAIS memberikan kontribusi terhadap perkembangan PTAIN di Indonesia. Sehingga keberadaan PTAIS tidak dipandang sebelah mata oleh pemerintah dan masyarakat.


PEMBAHASAN

A. Problematika pelaksanaan Pendidikan Islam di PTAIS

Diakui atau tidak, sekarang ini kualitas PTAIS masih kalah dengan PTAIN. Image yang semacam ini tentu tidak menguntungkan posisi PTAIS yang dikategorikan sebagai peringkat kedua. Dari jumlah PTAIS hanya terdapat beberapa perguruan tinggi yang dikatakan layak, selebihnya masih di bawah standar.

Permasalahan-permasalahan dalam pelaksanaan pendidikan Islam di PTAIS adalah:

a. PTAIS belum menjadi pilihan utama calon mahasiswa

Selama ini kebanyakan calon mahasiswa (input) yang masuk PTAIS adalah mereka yang gagal dalam ajang masuk di PTN dan PTAIN. Sehingga bisa dikatakan bahwa mereka yang masuk PTAIS adalah mahasiswa yang kurang berkualitas baik dari segi intelegensinya maupun ekonominya. Akibatnya tentu saja lulusan (out put) pendidikan menjadi kurang maksimal.

Menurut data Kopertais wilayah X, ditemukan ada PTAIS di Jawa Tengah yang jumlah mahasiswa kurang dari seratus orang. Misalnya, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Kamal Sarang Rembang jumlah mahasiswa 22 orang, FAI Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) jumlah mahasiswa 45 orang, Sekolah Tinggi Ilmu Ushuludin Chozinatul Ulum Blora jumlah mahasiswa 50 orang, Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Kebumen jumlah mahasiswa 65 orang, STAI Sufyan Tsauri Majenang mempunyai mahasiswa sebanyak 75 orang, STAI Al-Husain Magelang mempunyai mahasiswa sebanyak 81 orang.

b. banyak dosen yang belum memenuhi tugas keprofesionalan

Dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen Pasal 60, disebutkan dosen harus memenuhi tugas perofesional, yakni melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat; merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang sosioekonomi peserta didik dalam pembelajaran; menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika; dan memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

Selain itu dalam kualifikasi pendidikan, dosen harus berpendidikan sekurang-kurangnya adalah S2. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 46 ayat 2 bahwa, dosen memiliki kualifikasi akademik minimum: lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana; dan lulusan program doktor untuk program pascasarjana. Kondisi di lapangan, masih ada temuan dosen yang mengajar di PTAIS, kualifikasi pendidikannya di bawah standar.

c. Sarana dan prasarana yang belum memadai.

Sarana dan prasarana merupakan faktor penting dalam proses pembelajaran disamping faktor-faktor yang lain. Sarana dan prasarana yang memadai akan menjadikan suasana akademik dan proses pembelajaran menjadi kondusif dan sistematis. Tanpa adanya sarana dan prasarana yang memadai proses belajar dan mengajar tidak akan berjalan dengan baik. Sarana dan prasarana, terutama sarana belajar dan mengajar, merupakan hal yang esensial.

Kondisi riil, sarana dan prasarana yang dimiliki PTAIS tergolong masih minim. Padahal, keberadaan sebuah pendidikan tinggi sangat ditentukan oleh keberadaan sarana dan prasarana pendidikannya, seperti ruang perkuliahan, perpustakaan dengan ruangan dan koleksi buku yang memadai, laboratorium pembelajaran yang memadai.

d. Proses belajar dan mengajar yang belum berkualitas.

Ada indikasi banyak PTAIS yang kurang serius dalam melakukan proses pembelajaran. Kekurangseriusan dalam proses pembelajaran bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: kekurangsiapan tenaga pengajar (dosen tidak profesional) sehingga menyebabkan mahasiswa kurang aktif mengikuti perkuliahan. Mahasiswa hanya pasif mendengarkan dosen memberikan ceramah. Atau juga penyelenggaraan kelas jauh, yang tanpa memperhatikan kualitas pembelajaran.

e. Penguasaan bahasa arab mahasiswa PTAIS pada umumnya sangatlah lemah, padahal bahasa Arab merupakan alat pokok untuk memahami al-Quran dan al-Hadits serta kitab-kitab keagamaan klasik. (Isna, 2001: 16) Sebenarnya, tidak hanya penguasaan bahasa arab, menurut penulis juga bahasa Inggris.


B. Solusi Masalah Pelaksanaan Pendidikan Islam di PTAIS

Dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi PTAIS di atas, harus segera dicarikan solusi, diantaranya:

a. menarik minat mahasiswa untuk masuk PTAIS.

Langkah yang dapat dilakukan oleh PTAIS adalah menjaga kualitas lulusannya dengan baik. Maksudnya, lulusannya dapat diterima di masyarakat dan selalu dicari pengguna lulusan, yakni masyarakat. Untuk bisa mencapai hal tersebut, tentunya kualitas lulusan harus dijaga. Jangan hanya menghasilkan sarjana yang tidak mempunyai komptensi. Akibatnya, hanya menambah pengangguran yang terdidik. Sebaliknya, apabila kualitas lulusan dijaga dengan baik, bukan hal yang mustahil PTAIS tersebut akan selalu dibanjiri peminat.

b. meningkatkan profesionalisme dosen

Langkah yang bisa dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme dosen adalah dengan menciptakan iklim akademik yang kondusif bagi dosen untuk mengembangkan tugas keprofesional dosen. Misalnya pihak yayasan untuk mendorong dosen terbiasa meneliti dengan cara menfasilitasi pendirian penerbitan jurnal penelitian. Selain itu, pemberian stimulus bagi dosen yang dapat menulis di jurnal yang diakui nasional maupun internesional diberikan insentif yang layak.

Kemudian untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan dosen, pihak yayasan perlu mendorong dosen agar melanjutkan pendidikan setidaknya mempunyai kualifikasi pendidikan, yaitu minimal harus magister (S-2), atau doktor S3 bahkan mendapatkan gelar puncak akademik, yakni guru besar (professor). Pendanaan studi lanjut bagi dosen bisa saja berasal dari anggran PTAIS sendiri, atau memberikan rekomendasi untuk mengikuti seleksi beasiswa S2/S3 yang diselenggarakan berbagai instansi pemerintah baik Kementerian Agama atau Kementerian Pendidikan Nasional atau swasta.

c. Melengkapi sarana dan prasarana

Kelengkapan sarana prasarana perlu ditingkatkan terus menerus. Karena, dengan sarana prasarana yang lengkap akan mendorong kualitas PTAIS tersebut. Misalnya, dalam perkuliahan bahasa Arab atau Inggris perlu ada laboratorium bahasa. Atau juga laboratorium micro teaching yang bertujuan sebagai tempat latihan guru mengajar sebelum nantinya terjun ke kelas sesunggunya.

Untuk melengkapi sarana prasarana perlu adanya dana yang cukup. Pendanaan ini bisa berasal dari mahasiswa, atau yayasan, atau pemerintah, atau pihak swasta, atau juga dapat digalang dari sumber dana melalui pemetaan ekonomi para konglomerat (aghniya’) dan dilanjutkan dengan penyadaran akan pentingnya pendidikan tinggi Islam.

Pendidikan tinggi merupakan investasi manusia. Memang, harus diakui bahwa masih banyak orang mempertanyakan tentang efektivitas invesatasi melalui pendidikan, terutama efektifitasnya dalam memberikan nilai timbal balik bagi ekonomi individu dan masyarakat. Pendidikan dalam kenyataannya masih belum mampu menjadi sarana investasi yang menggiurkan bagi banyak orang, terutama PTAIS yang berbasis pendidikan humaniora. PTAIS lebih menawarkan tentang ”bagaimana menjadi orang baik” dan kurang menawarkan ”bagaimana menjadi orang berguna”.

d. meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas

Dosen sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan dosen sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Dosen harus pandai membawa peserta didik kepada tujuan yang hendak dicapai.

Oleh karenanya, dosen harus menguasai materi pengajaran, menguasai beberapa metode pengajaran sehingga ia mampu menggunakan metode yang sesuai dengan situasi dan kondisi peserta didik, dan sebagainya. Dengan demikian, dalam pembaruan pendidikan, keterlibatan dosen mulai dari perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya memainkan peranan yang sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan. (Muhaimin, 2005 :120) Bagi dosen yang belum bisa mewujudkan kelas yang menarik, bisa saja dosen tersebut dikirim untuk mengikuti shourt course (pendidikan singkat) di dalam maupun luar negeri.

e. Meningkatkan penguasaan bahasa Arab dan Inggris.

Pada abad 21 memunculkan tantangan internasional dan perspektif global. Model mahasiswa internasional dan pertukaran program fakultas di perguruan tinggi menjadi tren. (Syafaruddin, 2005: 329) Karenanya, untuk memenangi tantangan internasional tersebut, penguasaan bahasa asing (Arab maupun Inggris) adalah syarat mutlak. Bahkan, kalau bisa tidak hanya kedua bahasa asing tersebut, tetapi ditambah dengan bahasa asing lainnya misalnya, mandarin. Karena sekarang ini bahasa mandarin banyak dipelajari seiring kemajuan yang dialami negeri Cina.


DAFTAR PUSTAKA
  • Azizy, A, Qadri, 2001 Pendidikan (agama) untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat), Semarang, Semarang: Aneka Cipta.
  • Darwis, Djamaluddin, 2006, Dinamika Pendidikan Islam: Sejarah Ragam dan Kelembagaan, Semarang: RaSAIL.
  • Daulay, Haidar, Putra, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Kencana.
  • Feisal, Jusuf Amir, 1995, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press.
  • Hasjmy, A, 1979, Mengapa Umat Islam Mempertahankan Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
  • Idi, Abdullah & Suharto, Toto, 2006, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana.
  • Isna, Mansur, 2001 Diskursus Pendidikan Islam, Yogyakarta: Global Pustaka Utama.
  • Koordinatorat Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertais) Wilayah X Jawa Tengah (a), 2009, Data Program Studi PTAIS di Lingkungan Wilayah X Jawa Tengah Tahun 2009. Semarang: Kopertais.
  • Koordinatorat Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertais) Wilayah X Jawa Tengah (b), 2009, Data Prodi PTAIS di lingkungan Kopertais Wilayah X Jawa Tengah tahun 2009, Semarang: Kopertais.
  • Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Madrasah dan Perguruan Tinggi, Raja Grafindo Persada, jakarta, 2005.
  • Nur Syam, Institusi Sosial di tengah Perubahan, Jenggala Pustaka Utama, 2004, Surabaya.
  • PP. No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan.
  • Qomar, Mujamil, 2007, Manajemen Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga.
  • Syafaruddin, 2005, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press.













.