Relasi Kehidupan Beragama Dengan Budaya

Agama dan kebudayaan mempunyai relasi yang sangat kuat. Sebab keduanya nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di lingkungannya.

Oleh: Ahmad Dayan Lubis

Secara akademis, ada dua macam pendekatan untuk melihat fenomena kebudayaan.[1] Pendekatan pertama melihat kebudyaan dari luar ke dalam. Artinya, melihat pengaruh ekologi lingkungan fisik terhadap cara masyarakat mengorganisasikan dirinya. Misalnya, bagaimana pengaruh pergantian musim pada siklus ekonomi, bagaimana lingkungan daerah pantai mempengaruhi hubungan-hubungan sosial masyarakatnya, bagaimana masyarakat pertanian mengekspresikan simbol-simbol estetiknya, dan sebagainya.

Singkatnya pendekatan ini ingin melihat pengaruh lingkungan fisik terhadap lingkungan sosial, dan bagaimana sistem sosial yang terbentuk dari lingkungan fisik itu pada gilirannya mempengaruhi sistem simbol dan sistem nilai atau pandangan hidup masyarakatnya.

Sementara itu pendekatan kedua melihat kebudayaan dari luar ke dalam. Yaitu bagaimana sistem nilai mempengaruhi pembentukan sistem simbol, dan bagaimana sistem simbol itu pada akhirnya mempengaruhi sistem-sistem sosio-kultural.

Berkaitan dengan judul makalah di atas, maka pendekatan kedualah yang secara langsung memperlihatkan relasi kehidupan beragama dengan budaya. Nilai-nilai yang terkandung di dalam Islam dan menjadi pemahaman pemeluknya pada gilirannya mempengaruhi sistem simbol dan sistem sosio-kultural.


KEBUDAYAAN

E. B. Tylor (1871) dalam bukunya Primitive Culture (1924) memberikan pengertian tentang kebudayaan sebagai berikut. Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain-lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat.[2]

Bronislaw Malinowski menyebut unsur-unsur pokok kebudayaan sebagai berikut:[3]

1. Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya
2. Organisasi ekonomi
3. Alat-alat atau lembaga dan petugas pendidikan, termasuk keluarga
4. Organisasi kekuatan

Ralph Linton seperti dikutip Soerjono Seokanto berpendapat bahwa dalam kebudayaan itu ada juga struktur normatif (design for living, garis-garis atau petunjuk dalam hidup). Unsur-unsur normatif itu meliputi hal-hal sebagai berikut.[4]

1. Unsur-unsur yang menyangkut penilaian, misalnya apa yang baik dan buruk, apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, apa yang sesuai dengan keinginan dan apa yang tidak sesuai dengan keinginan

2. Unsur-unsur yang berhubungan dengan apa yang seharusnya seperti bagaimana orang harus berlaku

3. Unsur-unsur yang menyangkut kepercayaan seperti misalnya harus mengadakan upacara adat pada satu kelahiran, pertunangan, perkawinan, dan lain-lain.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dengan jelas bisa diketahui bahwa kehidupan beragama sangat kuat relasinya dengan budaya. Keduanya saling mempengaruhi dan dapat dilihat pada masing-masingnya.

Namun relasi antara agama dengan kebudayaan selalu saja mengundang kontroversi karena agama dipahami secara berbeda. Menurut ilmu sosial, agama termasuk salah satu unsur kebudayaan universal. Ada tujuh unsur kebudayaan yaitu, ilmu pengetahuan, bahasa, seni, sistem mata pencaharian, teknologi, organisasi sosial, dan agama.

Hal ini berarti bahwa setiap kebudayaan baik yang telah mencapai pelembagaan yang sangat kompleks maupun yang masih tarap sederhana memiliki ketujuh unsur tadi. Masalah yang sering dipertanyakan adalah bagaimana mungkin agama, yang diturunkan melalui wahyu dianggap sebagai bagian dari kebudayaan yang sesungguhnya merupakan ciptaan manusia.

Oleh ahli ilmu-ilmu sosial diberikan penjelasan bahwa pengertian agama yang dimaksud adalah bagaimana peranan agama itu dalam suatu kebudayaan. Misalnya dalam kehidupan masyarakat, bagaimana masyarakat melaksanakan dan mentaati ajaran-ajaran agamanya, bagaimana melihat dunianya melalui kaca mata agama.[5]

Misalnya ekspresi-ekspresi ritual dalam budaya populer Indonesia memperlihatkan pengaruh Islam yang kuat. Contoh upacara “pangiwahan” di Jawa dapat menunjukan hal itu. Upaca itu dimaksudkan agar manusia menjadi ‘wiwoho’, menjadi mulia. Jadi misalnya kita harus memulikakan kelahiran, perkawinan, kematian, dan sebagainya. Semua ritual itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kehidupan manusia itu bersifat mulia. Konsep mengenai kemulian hidup manusia jelas-jelas diwarnai kultur islam yang memandang manusia sebagai makhluk mulia.[6]

Dengan pengertian ini maka penelitian agama dapat ditinjau dari dua segi. Pertama, penelitian agama sebagai bagian dari penelitian budaya. Kedua, penelitian agama dengan menerapkan metode penelitian budaya.

Dikaitkan dengan dua tinjauan di atas maka penelitian kebudayaan yang dikaitkan dengan agama bisa dilakukan dengan melihat kebudayaan pada beberapa level.[7]

1. kebudayaan secara utuh

2. kebudayaan sebagai sistem kognitif, pengetahuan (umum/luas) seseorang berelasi langsung dengan pengetahuannya tentang agama.

3. kebudayaan sebagai sistem struktural, sistem struktural yaitu sistem simbol bersama. Proses pemikiran menghasilkan sistem simbol. Kebudayaan dianggap sebagai sistem simbol yang dimiliki bersama dan tercipta secara kumulatif dari pikiran-pikiran. Sistem simbol ini dapat dikenali dari struktur ranah kebudayaan seperti mitos, seni, sistem kekerabatan, dan bahasa.

4. Kebudayaan sabagai sistem simbol. Maksudnya sistem simbol perorangan dan hubungannya dengan sistem perorangan lain. Perorangan di sini dianggap sebagai aktor-aktor yang sedang melakukan kegiatan simbolis bersama dalam suatu peristiwa khusus, seperti adu ayam, upacara, kematian.

SISTEM NILAI DAN SIMBOL DALAM ISLAM

Untuk melihat relasi antara kehidupan beragama dengan budaya bisa dikemukakan contohnya di sini dari sudut pandang nilai Islam. Artinya bagaimana nilai-nilai yang ada di dalam Islam mempengaruhi cara pandang pemeluknya dan selanjutnya mempengaruhi simbol budaya dan sosio-kulturalnya.

Konsep tauhid di dalam Islam adalah konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu dan bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Konsep tauhid ini mengandung implikasi doktrinal lebih jauh bahwa tujuan kehidupan manusia tak lain kecuali menyembah kepada-Nya.

Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang merupakan kunci dari seluruh ajaran Islam. Dengan demikian, di dalam Islam, konsep mengenai kehidupan adalah konsep yang teosentris yaitu bahwa seluruh kehidupan berpusat kepada Tuhan.

Sistem tauhid ini mempunyai arus balik kepada manusia. Keyakinan kepada Tuhan sebagai bentuk keyakinan beragama selalu dikaitkan dengan masalah-masalah sosial seperti memperhatikan orang fakir melalui zakat dan karena itu muncul dalam bentuk solidaritas sosial.

Lebih lanjut nilai-nilai semacam ini seperti pada pembagian pengaruh agama dan budaya di atas tampak pada sistem struktural dan simbol. Pendeknya, sistem nilai tauhid itu menjadikan masyarakat Islam yang menghayatinya secara benar menjadi lebih egaliter dan memilih struktur kehidupan yang egaliter. Begitu juga dalam kegiatasan sehari-harinya, masyarakat Islam tidak memperdulikan kasta, misalnya pada suatu acara tempat duduk bisa di mana saja.

Namun dalam konteks masyarakat beragama secara sosial yang dilihat dari kehidupan sehari-hari, teori ini tidaklah linear dalam arti terbukti seratus persen. Nyatanya, banyak pemeluk agama (Islam dalam hal ini) yang tauhidnya tidak tercermin dalam kehidupannya. Ada orang-orang Islam yang kaya tetapi tidak peduli pada fakir miskin, hidup secara berkasta, dan korup.

Dalam kajian Cliffort Geertz tentang Islam di Jawa sampai ia membedakan antara santri, priyayi, dan abangan dengan cara khas beragama masing-masing meski sama-sama menganut agama Islam. Ini menunjukkan bahwa nilai agama mempengaruhi setiap orang dengan pengaruh yang berbeda.

Untuk menjelaskan fenomena di atas, Kuntowijoyo menyebutnya dengan sekularisasi objektif dan sekularisasi subjektif. Sekularisasi objektif yaitu dipisahkannya agama dari lembaga lain. Agama dan negara misalnya dua hal yang berbeda. Sekularisasi subjektif yaitu ketika tidak ada hubungan antara pengalaman agama dengan pengamalan agama.[8]

Pada masyarakat Barat agama dan negara dipisahkan secara langsung sehingga mereka memilih sekularisasi objektif. Tidak heran jika kemudian kehidupan mereka merujuk sepenuhnya kepada rasio begitu juga dengan kebudayaan mereka.

Kebudayaan bebas (liberal) misalnya di mana seseorang bisa melakukan hal-hal yang dianggapnya baik bagi dirinya boleh saja, asal tidak mencederai atau mengganggu orang lain.

AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA

Islam ketika bersentuhan dengan budaya bersifat akomodatif meskipun dengan catatan, Islam memberi muatan nilai. Tidak heran jika ritual-ritual ibadah di dalam Islam seperti tawaf dalam ibadah haji sesungguhnya perbuatan yang sudah dikenal sebelumnya. Masyarakat jahiliyah juga melakukan tawaf, tetapi dengan cara yang berbeda yaitu mereka berkeliling dengan membuka auratnya.

Ketika Islam datang, ritual semacam itu diakomodasi, tetapi dengan memberikan nilai yang berbeda. Islam tidak lagi membenarkan tawaf dengan membuka aurat, tetapi dengan mengenakan penutup aurat yang kemudian disebut dengan pakaian ihram. Begitu juga dengan perkembangan Islam di Indonesia, antara agama dan budaya lokal terjadi akulturasi.

Di dalam kehidupan masyarakat juga dikenal berbagai prosesi kehidupan yang dapat menunjukkan telah terjadinya persentuhan antara agama dan budaya. Proses akulturasi antara Islam dan budaya lokal terjadi dan kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing (di luarnya), sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat pada wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya.[9]

Budaya-budaya lokal yang kemudian berakulturasi dengan Islam antara lain acara slametan (3, 7, 40, 100, dan 1000 hari) di kalangan suku Jawa (bahkan suku lain juga ada).

Terdapat juga akulturasi itu pada bentuk arsitektur masjid, misalnya masjid agung Medan. Nurcholish Madjid—berkaitan dengan agama dan budaya—berpendapat bahwa bentuk kubah masjid yang melengkung merupakan pinjaman dari Bizantiun dan menara (manarah) pinjaman dari Parsi yang artinya tempat api. Oleh Islam menjadi (muazzanun) tempat azan.

Akulturasi budaya yang muncul dalam bentuk fisik yang merupakan simbol itu, sesungguhnya menunjukkan bagaimana relasi agama dengan budaya begitu kuat. Banyak sekali bangunan fisik masjid yang dipengaruhi budaya lokal seperti tiangnya, atapnya, bentuk menaranya. Sementara esensi Islam terletak pada fungsi masjidnya.

Aspek yang menunjukkan relasi antara agama dengan budaya juga bisa dilihat pada tradisi seni lokal Sunda yaitu seni beluk. Dalam seni beluk sering dibacakan jenis cerita tentang keteladanan dan sikap keagamaan yang tinggi dari tokoh. Acara semacam ini sering dikaitkan dengan acara syukuran misalnya kelahiran anak, khitanan, panen atau peringatan hari besar Islam dan nasional.[10]

Clifford Geertz telah melakukan studi yang sangat terkenal tentang kaitan antara budaya dengan agama. Ia menuliskan hasil penelitiannya pada karyanya yang terkenal The Religion of Java (1960).[11] Ia menyimpulkan bahwa ada pengaruh agama yang kuat dalam setiap celah dan sudut kehidupan orang Jawa. Pada karyanya itulah Geertz membagi masyarakat Jawa menjadi santri, abangan, dan priyayi. Ia menemukan perbedaan beragama di antara ketiganya.

Singkatnya, agama sangat berpengaruh pada budaya. Agama diakui memberikan pengaruh pada sosial budaya. Hal ini dapat dilihat pada fungsi edukatif, penyelamat, perdamaian, sosial kontrol, solidaritas, transformatif, kreatif, dan sublimatif.[12] Karena itu mengetahui agama bisa dilihat dari budaya masyarakat.

METODOLOGI AGAMA DENGAN PERTIMBANGAN BUDAYA

Para walisongo di Jawa sering dihadirkan sebagai contoh keberhasilan peminjaman metodologi budaya dalam kerangka pengembangan agama, termasuk melalui wayang. Apa yang menjadi pilihan walisongo sesungguhnya secara historis bisa ditemui pada metodologi Nabi Muhammad saw.

Jika kita memperhatikan perjalanan sejarah, Nabi Muhammad saw sebenarnya tidak serta-merta berambisi menanamkan tata nilai secara sekaligus. Metodenya persuasif antara lain dengan cara berangsur-angsur. Misalnya, Nabi memulai dari keluarga dekat, baru pada orang-orang dekatnya.

Begitu juga dengan tata nilai Islam yang rahmatan lil’alamin ditunjukkan dengan cara-cara yang terlebih dahulu dilalui dengan pembudayaan nilai-nilai islami. Penanaman itu antara lain dilakukan dengan menunjukkan contoh yang memunginkan orang bisa melihat dengan jelas perbedaannya. Jadi ada proses percontohan. Oleh karena itulah Nabi juga menyebut dirinya sebagai uswatun hasanah (model yang baik).

Oleh karena itu, model-model dakwah yang kerap mengecam nilai-nilai yang tidak atau belum sesuai dengan ajaran Islam tanpa memberikan model tidaklah tepat. Seperti dikatakan M. Amin Abdullah bahwa penampilan Islam yang ramah, simpatik, santun, murah senyum adalah proses yang harus dilalui dalam pembudayaan nilai-nilai Islami yang ditunjukkan dengan performance manusia muslim yang pantas dirujuk sebagai contoh.[13]

Dalam sejarah Islam, munculnya model itulah yang kerap menjadi kunci keberhasilannya. Ketertarikan manusia memeluk agama Islam seperti yang terjadi di daratan Spanyol pada abad ke-7 juga disebabkan kepercayaan mereka pada contoh nyata yang ditujukkan orang-orang Islam.

Mengapa percontohan atau model itu menjadi begitu penting. Pertama, karena manusia pada dasarnya memiliki potensi sifat imitatif. Manusia suka mencontoh apa yang dilihatnya menarik. Kedua, manusia enggan menanggung resiko. Sifat umum manusia yang seperti itu membuatnya ingin melihat dulu contoh yang sudah dibuat orang sehingga ia bisa menduga resikonya.

Begitu juga dalam masalah pendidikan, model atau contoh selalu menjadi unsur yang sangat penting. Kebersihan secara teori sebenarnya tidak perlu waktu lama untuk mengajarkannya, tetapi menanamkan nilai-nilai itu menjadi pembiasaan tidaklah bisa sebentar. Ada waktu panjang yang diperlukan baik dari segi tenggat waktunya maupun dari segi seberapa banyak orang yang melakukan hal yang sama.

Begitulah sehingga perlu dibangun suatu kesadaran bahwa belum membuminya nilai-nilai Islam di tengah-tengah masyarakat sebenarnya disebabkan masih kurangnya orang yang tampil menjadi model. Kekuatan model itupun juga ditentukan kedudukan seseorang di masyarakat. Jika orang-orang yang dianggap mempunyai kedudukan tinggi di tengah-tengah masyarakat telah siap menjadi model, maka sebenarnya penanam nilai itu menjadi jauh lebih cepat.

Adanya kreasi-kreasi para seniman dan budayawan sepanjang masa, begitu juga yang berkembang saat ini menunjukkan bahwa kebutuhan mengaitkan metode dakwah dengan pertimbangan budaya sangatlah penting. Metode semacam ini mampu membuat nilai-nilai Islam menjadi lebih hidup dan membumi. Namun perlu catatan bahwa semua itu tidaklah boleh melenceng dari prinsip-prinsip dasar Islam.

Keramahtamahan seorang atasan di sebuah perusahaan misalnya, perhatiannya pada bawahan, kata-katanya yang terjaga menjadi tidak sah kalau ia melakukan kumpul kebo. Mengapa karena ia melanggar prinsip kendati mengamalkan nilai yang sama dengan yang diinginkan prinsip.

Dalam konteks inilah sehingga agama selalu mempunyai ajaran yang sama yaitu menyeru orang lain kepada kebenaran dan mengingatkannya dari kekhilafan. Asumsinya, setiap orang sangat mungkin salah. Begitu juga dalam konteks kehidupan beragama dan berbudaya. Bisa saja ada kebiasaan-kebiasaan yang membudaya, tetapi sebenarnya bertentangan dengan prinsip-prinsip agama sehingga haruslah dihentikan.

MEMBUKA RUANG BAGI KEBUDAYAAN

Berdasarkan kajian terdahulu dapat dipastikan bahwa kesalingpengaruhan antara agama dengan budaya adalah historis. Oleh karena itu mendesak bagi kaum agamawan untuk membuka ruang bagi kebudayaan sebagai media pengembangan agama dan penanaman nilai-nilainya di tengah-tengah masyarakat.

Agama tidak bisa didakwahkan hanya dari segi-segi hukum karena itu membuat sebagian masyarakat yang menjadi objek dakwah menjadi galau. Belum apa-apa ia sudah merasa betapa banyaknya larangan di dalam agama. Ia merasa telah dihakimi dan dihukum.

Karena itulah perlu inovasi media dalam melakukan penanaman nilai-nilai agama, di antaranya dengan membuka ruang bagi kebudayaan. Caranya bisa melakukan kerjasama antara agamawan dengan pekerja budaya sehingga ditemukan media budaya yang telah diisi nilai-nilai agama.

Belakangan berkembang seperti musikalisasi puisi religius untuk menyebut bahwa di dalam puisi itu terkandung secara jelas pesan-pesan religius, misalnya ajakan bersikap jujur. Begitu juga dengan pengembangan model berkesenian yang banyak menampilkan pesan-pesan religius seperti lagu-lagunya Hadad Alwi, Sulis, Opick.

Karena itulah sebenarnya diperlukan kontribusi para ahli agama terhadap kebudayaan dalam kerangka dakwah. Para seniman tentu saja terbatas literaturnya tentang agama, tidak seluas agamawan. Keduanya perlu kerja sama misalnya menciptakan lirik-lirik yang berisi pesan-pesan religius.

Apa yang ada selama ini misalnya shalawatan masih merupakan produk di masa ratusan tahun lalu. Namun karena minimnya produktifitas yang bisa menggantikannya sehingga lirik-lirik itulah yang terus dipakai dengan ratusan variasinya. Padahal ternyata, media tersebut cukup mampu menghantarkan kesadaran religius yang menjadi bibit bagi berkembangnya spritualitas yang lebih luas.


KESIMPULAN

Agama dan kebudayaan mempunyai relasi yang sangat kuat. Sebab keduanya nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di lingkungannya.

Namun perlu ditegaskan bahwa ada perbedaan. Agama itu sudah final, abadi, dan tidak mengenal perubahan. Sementara itu kebudayaan dapat berubah. Namun keduanya dapat saling menggeser dikarenakan keduanya merupakan kenyataan sejarah.

Interaksi antara agama dengan budaya dapat terjadi dengan:

1. Agama mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, simbolnya adalah budaya. Misalnya, bagaimana shalat mempengaruhi bangunan.

2. Kebudayaan dapat mempengaruhi simbol agama. Kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesanteren dan kia yang berasal dari padepokan dan hajar.

3. Kebudayaan dapat menggantikan sistem nilai dan simbol agama. Contoh, pernikahan pada suku batak didominasi oleh adat bukan agama.

Agama dengan kebudayaan bisa saling mendukung tetapi juga punya potensi tidak saling mendukung. Di Erofa berdasarkan liputan media menunjukkan bahwa di masa yang akan datang peminat agama semakin berkurang. Gereja-gereja di Erofa telah sepi. Survey di lima negara yaitu Prancis, Belgia, Belanda, Jerman, dan Italia menunjukka bahwa pengunjung gereja yang datang secara rutin turun dari sekitar 40 % populasi penduduk kelima negara itu menjadi sekitar hanya separuh angka.[14]

Begitu juga terjadi pergeseran pandangan tentang pernikahan. Orang-orang muda banyak yang enggan menikah, mereka memilih hidup lajang, bahkan berpasangan dengan orang sejenis sehingga tidak mungkin melahirkan anak. Ke masa depan orang Eropa bisa kekurangan penduduk. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi relasi yang negatif antara agama dengan budaya.


Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah RELASI KEHIDUPAN BERAGAMA DENGAN BUDAYA, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com
Daftar Pustaka dan Footnote
Daftar fustaka


Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Bandung: Mizan, 1991

Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Bandung: Mizan, 2001

M. Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II. 1999

Noerhadi Magetsari, makalah Penelitan Agama Islam dengan Metode Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, 1998 (tidak dipublikasikan)

Nur Ahmad Fadhil Lubis, Agama Sebagai Sistem Kultural, Medan: IAIN Press, 2000

Rohadi Abdul Fatah, Sosiologi Agama, Jakarta: Titian Kencana Mandiri, 2004

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, cet. 27, 1999

Analytica Islamica, jurnal Pasca Sarjana IAIN SU, Vol. 6, No. 1, Mei 2004,

Analisa, Senin, 16/1-2006


===================================


[1] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, (Bandung: Mizan, 1991), hal., 228



[2] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, cet. 27, 1999) hal. 188-189



[3] Ibid., hal. 192



[4] Ibid., hal. 198



[5] Noerhadi Magetsari, makalah Penelitan Agama Islam dengan Metode Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, 1998 (tidak dipublikasikan)



[6] Kuntowijoyo, op. cit, hal 235.



[7] Noerhadi Magetsari, op. cit.,



[8] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 195



[9] Soerjanto Poespowardojo, Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi, Kepribadian Budaya Bangsa (local genius), Ayotrohaedi (ed.), (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986) dalam Analytica Islamica, jurnal Pasca Sarjana IAIN SU, Vol. 6, No. 1, Mei 2004, hal. 93



[10] Analytica Islamica, jurnal Pasca Sarjana IAIN SU, Vol. 6, No. 1, Mei 2004, hal. 95



[11] Nur Ahmad Fadhil Lubis, Agama Sebagai Sistem Kultural, (Medan: IAIN Press, 2000), hal., 98



[12] Rohadi Abdul Fatah, Sosiologi Agama, (Jakarta: Titian Kencana Mandiri, 2004) hal. 89-92


[13] M. Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II. 1999), hal. 222



[14] Analisa, Senin, 16/1-2006













.