Harta Dan Permasalahnnya

PEMBAHASAN

A. Pengertian Harta

Harta dalam bahasa arab disebut al mal yang berasal dari kata maala, yamiilu, mailan yang berarti condong , cenderung , dan miring. Sedangkan harta (al mal) menurut istilah imam hanafiyah ialah:
ما يميل أليه طبع الانسان ويمكن أذخاره ألى وقت الحاجة
“Sesuatu yang digandrungi tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga dibutuhkan”

Menurut hanafiyah, harta musti disimpan sehingga sesuatu yang tidak dapat disimpan tidak disebut harta. Menurut Hanafiyah manfaat tidak termasuk harta, tetapi manfaat termasuk milik, Hanafiyah membedakan harta dengan milik,yaitu:

Milik adalah sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan tidak dicampuri penggunaanya oleh orang lain.
Harta adalah segala sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika dibutuhkan. Menurut hanafiyah yang dimaksud harta hanyalah sesuatu yang berwujud (a’yan).

Menurut sebagian ulama, yang dimaksud dengan hata ialah :
ما يميل أليه الطبع ويجرى فيه البذل والمنع
“Sesuatu yang diinginkan manusia berdasarkan tabiatnya, baik manusia itu akan memberikannya atau akan menyimpannya.”

Sementara menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, yang dimaksud dengan harta ialah :
  • Nama selain manusia yang diciptakan allah untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, dapat dipelihara pada suatu tempat, dan dikelola (tasharruf) dengan jalan ikhtiar.
  • Sesuatu yang dapat dimiliki oleh setiap manusia, baik oleh seluruh manusia maupun oleh sebagin manusia 
  • Sesuatu yang sah untuk diperjualbelikan
  • Sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai(harga) 
  • Sesuatu yang berwujud, Sesutu yang tidak berwujud meskipun dapat diambil manfaatnya tidak termasuk harta, 
  • Sesuatu yang dapat disimpan dalam waktu yang lama atau sebentar dan dapat diambil manfaatnya ketika dibutuhkan. 

B. Unsur-unsur Harta

Menurut para fuqaha harta bersendi pada dua unsur, yaitu unsur ‘aniyah dan unsur ’urf. Unsur ‘aniyah ialah bahwa harta itu ada wujudnya dalam kenyataan (a’yan). Unsur ‘urf ialah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatu kecuali menginginkan manfaatnya, baik manfaat madiyah maupun manfaat ma’nawiyah. 


C. Kedudukan Harta 

Kedudukan harta bagi manusia sangat. Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani kehidupan didunia ini, sehingga para ulama ushul fiqh memasukkan persoalan harta dalam salah satu adh-dharuriyat al-khamsah (lima keperluan pokok). Yang terdiri atas agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Dalam ayat-ayat al-Qur’an, harta memiliki kedudukan antara lain:

1. Harta sebagai amanah (titipan) dari allah SWT manusia hanyalah pemegang amanah untuk mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya. Sedangkan pemilik harta sebenarnya tetap pada Allah SWT.

Artinya:
“Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman diantara kamu dan menafkahkan (sebagian) hartanya mendapatkan pahala yang besar”. (Q.S. al-Hadid:7)

2. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai dan menikmati. Firman-Nya:

Artinya:
“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,perak,kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup didunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik”.(Q.S. Ali Imron:14)

3. Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran islam ataukah tidak Allah berfirman:

Artinya:
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan dan di sisi Allahlah pahala yang besar (al-Taghabun:15)


D. Fungsi Harta

Harta dipelihara manusia karena manusia membutuhkan manfaat harta tersebut. Diantar sekian banyak fungsi harta antara lain sebagai berikut:
  • Untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah).
  • Untuk meningkatkan keimanan (ketakwaan) kepada Allah.
  • Untuk meneruskan kehidupan dari suatu periode ke periode berikutnya.
  • Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan)antara kehidupan dunia dan akhirat.
  • Untuk mengembangkan dan meningkatkan ilmu-ilmu.
  • Untuk memutarkan(mentasharuf)peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan tuan atau adanya orang kaya dan orang miskin.
  • Untuk menumbuhkan silaturahmi karena adanya perbedaan keperluan

CARA MEMPEROLEH HARTA DAN PEMANFAATANNYA

Islam tidak membatasi cara seseorang dalam mencari dan memperoleh harta selama yang demikian itu tetap diberlakukan dalam prinsip umum yang berlaku yaitu halal dan baik. Hal ini berarti islam tidak melarang seseorang untuk mencari kekayaan sebanyak mungkin, karena bagaimanapun yang menentukan kekayaan yang dapat diperoleh seseorang adalah Allah SWT sendiri sebagaimana yang disebutkan dalam ayat diatas. Di samping itu dalam pandangan islam harta itu bukanlah tujuan, tetapi alat untuk mencapai keridhaan Allah.

Adapun bentuk usaha dalam memperoleh harta yang menjadi karunia Allah untuk dimiliki oleh manusia bagi menunjang kehidupannyasecara garis besar ada dua bentuk :
  • memperoleh harta tersebut secara langsung sebelum dimiliki oleh siapapun. Cara seperti ini sering disebut dengan penguasaan harta bebas(ihrazu al-mubahat). Disamping itu juga harta bebas bisa diperoleh melalui berburu hewan, mengumpulkan kayu dan rerumputan di hutan rimba, dan menggali barang tambang yang berada diperut bumi selama belum ada pihak yang menguasinya, baik individu maupun Negara. 
  • memperoleh harta yang telah dimiliki oleh seseorang melalui suatu transaksi atau akad. Bentuk ini dipisahkan pada dua cara. Pertama peralihan harta berlangsung dengan sendirinya atau disebut juga ijbari yang siapapun tidak dapat merencanakan atau menolaknya seperti melalui warisan. Kedua peralihan harta berlangsung tidak dengan sendirinya,, dengan arti atas kehendak dankeinginan sendiri yang disebut ikhtiyari, baik melalui kehendak sepihak seperti hibah atau pemberian maupun melalui kehendak dan perjanjian timbale balik antara dua atau beberapa pihak seperti jual beli.

DAFTAR PUSTAKA
  • Suhendi, Hendi. 2008. Fiqih Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  • Lathif,Azharudin. 2005. Fiqih Muamalat, Jakarta: UIN Jakarta Press.













.