Makalah Perbaikan Citra Guru di Indonesia
Hadiyanto
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah sarana utama bagi suatu negara dalam meningkatkan sumber daya manu-sianya dalam mengikuti perkem-bangan dunia. Oleh karena itu, pendidikan patut memperoleh per-hatian utama dalam perbaikan kualitas manusia. Kalau tidak, suatu bangsa akan ketinggalan dengan bangsa lainnya di dunia, lebih-lebih lagi dalam percaturan dunia yang menggunakan teknologi canggih dan serba tanpa batas (borderless). Mengingat pentingnya pera-nan pendidikan dalam memben tuk sumber daya manusia untuk masa yang akan datang, negara-negara maju menempatkan pendidikan pada porsi yang utama sehingga membuat anggaran pendidikan dalam APBN-nya cukup besar. Se-bagai contoh di Taiwan alokasi ang¬garan pen¬didikan pe¬merintah pusat adalah 15%, pe¬merintah propinsi 25% dan pe¬merintah Tingkat II 35% dari to¬tal anggaran masing-masing (Soedijarto, 2000). Hal itu sangat ber-beda dengan kondisi di Indonesia yang hanya mampu menggalokasikan anggaran pendi-dikan kurang lebih 4% dari APBN-nya.
Salah satu hal penting yang sangat berkaitan dengan pendidikan adalah kualitas guru di Indonesia. Bangsa Indonesia belum mampu menghargai guru sebagaimana mes-tinya. Gaji guru (honorer) di se-bagian daerah di Indonesia di bawah UMR (Kompas, 28 April 2000) dan lebih rendah dari gaji guru di negara baru Timor Timur, serta lebih parah dibandingkan dengan tukang parkir di Brunei Darussalam (Haluan, 25 November 2000). Karena penghar¬gaan rendah terhadap guru itu, maka pekerjaan guru di Indonesia menjadi pilihan terakhir setelah ti¬dak memperoleh pekerjaan lain, dan pendidikan guru tidak pernah di¬sentuh oleh putra-putra terbaik bangsa. Akibat dari penghargaan masyarakat terhadap guru yang ren¬dah itu maka guru tidak mampu bangkit untuk mengupdate ilmunya sehingga menjadi seperti lingkaran setan, kualitas mereka rendah dan kembali lagi dibayar murah. Tidak mungkin mereka mampu mengim-plemantasikan empat pilar pen-didikan seperti yang dikemukakan oleh Delors, dkk. (1996). Perma-salahan di atas menjadi tambah ru-nyam ketika bangsa Indonesia di-landa kritis multi dimensi sehingga sangat berdampak terhadap pereko-nomian nasional, dan penghargaan gaji minimal terhadap guru itu menjadi lebih terpuruk lagi karena nilai uang yang mereka terima setiap bulannya sudah sangat rendah nilainya dan tidak cukup untuk menghidupi keluarganya.
PEMBAHASAN
A. PERMASALAHAN GURU DAN KUALITAS PENDIDIK-AN DI INDONESIA
Kualitas pendidikan di In-donesia sedang menjadi keprihati-nan khususnya para pelaku dan pemerhati pendidikan. Menteri Pendidikan Nasional Republik In-donesia, Malik Fadjar mengakui bahwa sistem pendidikan nasional memang terburuk di lingkungan Asia. Hal itu diungkapkan lebih-lebih lagi setelah situasi politik dan ekonomi Indonesia tidak mengun-tungkan. Apabila dibandingkan dengan negara-negara di Asia uru-tan sistem pendidikan yang terbaik adalah Korea Selatan, Singapura, Jepang, Taiwan, India, Cina serta Malaysia. Indonesia menjadi juru kunci di urutan paling bawah (Kom¬pas, 5 September 2001).
Apa yang diakui oleh Fadjar menurut penulis adalah benar. Bangsa Indonesia tidak harus malu mengakui kelemahannya sebab kalau ditutup-tutupi malah akan menjadi bumerang. Dalam survei yang dilakukan oleh Asia Week ter-hadap perguruan tinggi di ling-kungan Asia Pasifik, empat pergu-ruan tinggi terbaik di Indonesia hanya mampu menduduki peringkat ke 61, 68, 73 dan 75 dari 77 univer¬sitas yang disurvei (Komite Refor¬masi Pendidikan, 2001).
Hal di atas menunjukkan bahwa memang kualitas bangsa In-donesia hanya semu, jago di kan-dang sendiri, padahal sekitar 15 ta-hun yang lalu banyak bangsa Malay¬sia yang datang ke Indonesia untuk belajar. Sekarang kondisinya sangat kontradiktif. Pada waktu orang Malaysia belajar ke Indonesia, mereka mempunyai uang sendiri. Sekarang orang Indonesia yang akan belajar di Malaysia, dan yang per¬tama ditanyakan adalah ‘ada beasiswanya atau tidak’. Hal itu juga dimungkinkan karena akibat sistem pendidikan di Indonesia yang korup, sementara bangsa Malaysia berani dengan ketat menjaga nilai-nilai yang mereka punyai sehingga mampu membangun sistem pen-didikan yang mapan.
Dirjen Perlindungan HAM Departemen Kehakiman dan HAM Hafid Abbas mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia paling tidak mempunyai empat macam kega¬galan. Yang pertama adalah pen¬didikan telah gagal melahirkan kualitas sumber daya manusia. Kedua, pendidikan di Indonesia ga-gal mendidik anak bangsa untuk hidup bersama secara damai dan sejuk. Ketiga, Pendidikan di Indo-nesia tidak mampu memberikan pelayanan kualitas secara merata, dan yang keempat adalah gagal dalam melahirkan manusia Indone-sia yang jujur dan bermoral (Kompas, 20 Oktober 2001).
B. GURU SEBAGAI KOMPONEN UTAMA DALAM SISTEM PENDIDIKAN
Pendidikan pada dasarnya merupakan sarana strategis untuk meningkatkan potensi bangsa agar mampu berkiprah dalam tataran yang lebih global. Hanson dan Brembeck (1966) menyebutkan bahwa pendidikan itu sebagai ‘in-vestment in people’, untuk pengem-bangan individu dan masyarakat, dan di sisi lain pendidikan meru-pakan sumber untuk pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, menurut Hanson dan Brembeck pendidikan perlu dimantapkan, sehingga dapat difungsikan sebagai penelitian, me¬nemukan dan memupuk bakat, meningkatkan kemampuan manusia untuk menyesuaikan dan mengubah kesempatan kerja dalam rangka pertumbuhan ekonomi, untuk me-menuhi kebutuhan keterampilan dan ilmu pengetahuan yang diperlu-kan untuk masa yang akan datang.
Dengan mengkaji peranan stategis pendidikan bagi suatu bangsa, maka tidak ada pilihan lain bagi bangsa Indonesia untuk senan-tiasa meningkatkan kualitas pen-didikannya. Perbaikan kualitas pen-didikan tidak dapat hanya dengan melakukan peningkatan sarana dan prasarana, perubahan kurikulum atau meningkatkan kualifikasi ma-sukan dari sistem pendidikan tanpa memperhatikan kualitas dan nasib atau kesejahteraan guru. Perbaikan sarana dan prasarana, kurikulum te-lah banyak dilakukan, namun demikian, masih sedikit yang dila-kukan dengan menyentuh kebutu-han atau nasib guru secara utuh. Oleh karena itu, sebagai salah satu sub komponen penting dalam sis-tem pendidikan nasional, perbaikan kebutuhan dan nasib guru untuk dewasa ini perlu diintensifkan. Delors, dkk. (1996) menunjukkan bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan diantaranya bergantung pada status sosial, --termasuk di dalamnya kondisi ekonomi guru, pengetahuan dan keterampilan, karakteristik personal, masa depan profesi dan motivasi guru. Artinya, apakah ‘inducement’ yang didapatkan guru selama ini telah mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya be-serta jaminan masa depannya di-bandingkan dengan ‘contribution’ yang mereka berikan kepada lem-baga kerjanya.
Untuk memposisikan pen-tingnya guru, berikut ini penulis kemukakan beberapa pendapat dan hasil kajian media masa tentang keinginan masyarakat tentang guru. Masyarakat mengharapkan agar ‘guru’ adalah sosok yang dapat ‘digugu’ dan ‘ditiru’ (Bekal Pembina, 2000). Supaya menjadi panutan, guru harus senantiasa menambah ilmu pengetahuan dan wawasan (Haluan, 27 Mei 2001), oleh karena itu, citra guru harus dipelihara baik oleh guru sendiri misalnya dengan meningkatkan pengetahuannya me-lalui pendidikan dan pelatihan, juga oleh masyarakat dengan memberi-kan penghargaan yang lebih baik dari yang ada selama ini.
Pada Perspektif Ilmu Pendidi-kan Edisi Oktober 2001, Hadiyanto telah mengidentifikasi demikian banyak harapan atau idealisme masyarakat terhadap guru, dianta¬ranya disarikan dari Watten B (dalam Sahertian, 1994), Oliva dalam Sahertian, 1994) serta Pullias dan Young (1977). Inti dari semua pendapat tersebut menyebutkan bahwa itu itu sebenarnya meru¬pakan ‘manusia terhormat’ dalam segala aspek, yang harus menjadi suri tauladan di kelas, maupun di luar kelas, baik bagi peserta didik maupun masyarakatnya.
Dengan mempelajari peran yang harus dilakukan guru, harus diakui bahwa tugas itu memang ti-dak ringan. Sebagai intinya, guru ideal adalah harus orang yang memiliki seluruh sifat-sifat ‘baik dan sempurna’ dalam segala hal, baik dalam keilmuannya, sikap, maupun tingkah lakunya. Namun demikian, karena penghargaan bangsa Indone-sia terhadap profesi guru itu masih relatif rendah, maka untuk menda-patkan seluruh kesempurnaan guru di atas menjadi sangat sulit. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya atau perjuangan agar nasib mereka tidak lebih terpuruk lagi sehingga mereka mau dan mampu bangkit untuk mewujudkan harapan seluruh pihak tentang guru yang sebenarnya dan ideal.
C. PERJUANGAN UNTUK GURU
Untuk membuat pendidikan dan guru menjadi lebih baik diper-lukan perjuangan berbagai pihak. Reformasi yang meletus sejak tahun 1997 masih terengah-engah macet di tengah jalan karena pelaku refor-masinya juga perlu direformasi. Untuk itu diperlukan reformasi jilid II dengan penambahan energi (re¬energizing) untuk mendongkrak ke¬kuatan yang mengembalikan niat perbaikan bangsa dengan berpihak kepada rakyat. Paragraph berikut akan mendiskusikannya melalui em¬pat perjuangan, yaitu di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.
a. Perjuangan Politik
Perjuangan politik dalam rangka perbaikan kualitas dan nasib guru harus dilakukan melalui per-juangan mengubah image masyara-kat tentang guru melalui jalur pe-merintahan. Untuk di Indonesia saat sekarang ini, perjuangan politik merupakan perjuangan yang perlu diutamakan karena dalam situasi politik yang tidak menentu, di mana setiap golongan, partai politik lebih mementingkan kepentingan kelom¬poknya, maka kalau tidak ada per¬juangan politik yang memperhatikan nasib mereka.
Perjuangan lewat jalur politik sebenarnya merupakan per-juangan yang strategis karena ber-hubungan langsung dengan pusat kekuasaan negara. Hal ini dapat di-lakukan oleh para anggota DPR, partai politik atau kelompok Lem-baga Swadaya Masyarakat untuk memberikan argumentasi dan ‘te-kanan’ dalam rangka mengubah na-sib guru. Untuk mencapai per-juangan ini diperlukan pemahaman, kearifan, ketulusan serta kesunggu-han pengambil keputusan untuk mengangkat citra guru, karena guru adalah manusia sumber dalam bidang pendidikan yang mempunyai andil sangat besar dalam mengang-kat generasi yang akan datang.
b. Perjuangan Ekonomi
Apa yang dikemukakan Harbison dan Myers (1965) bahwa perekonomian Indonesia sejak ta-hun 1949 tidak menjanjikan keper-cayaan untuk masa-masa yang akan datang nampaknya masih perlu menjadi bahan renungan, karena hal itu terbukti sampai sekarang pere¬konomian Indonesia masih belum mampu bangkit dari keterpuru¬kannya yang lebih parah dan bahkan longsor lagi mulai tahun 1997. Upaya menaikkan gaji guru belum mampu menandingi parahnya sis¬tem perekonomian nasional karena nilai uang yang diterima guru seba¬gai inducement tidak sebanding dengan kenaikan harga kebutuhan pokok yang terus merembet mem¬bubung.
Oleh karena itu, perjuangan untuk meningkatkan kualitas eko-nomi guru dilakukan untuk mem-buat agar pada saat mengajar guru tidak lagi memikirkan apakah ke-luarga dan anak-anaknya kekura-ngan makan atau tidak. Saat ini banyak dijumpai guru ‘baik’ yang ‘terpaksa’ mencari uang tambahan guna menghidupi keluarganya di saat mereka seharusnya melaksana-kan tugas pokoknya di sekolah. Kalau tidak, keluarga mereka teran-cam kekurangan untuk kehidupan sehari-hari, maupun untuk keper-luan pendidikannya. Kenyataan ini memperburuk citra guru di depan peserta didik atau masyarakat karena guru dianggap sebagai seorang yang tidak bertanggung jawab terhadap tugas pokoknya. Pernyataan Mendiknas Malik Fadjar yang pri¬hatin sekaligus bangga dengan im¬balan guru per bulan hanya Rp. 150.000,- namun mereka tetap te¬kun mengerjakan tugasnya (Kompas, 18 Juni 2002) adalah hanya dapat dilakukan oleh guru yang luar biasa dan di Indonesia jumlahnya hanya dua atau tiga orang saja.
Melihat fenomena di atas, maka tidak ada pilihan lain bagi bangsa Indonesia dalam meningkat-kan kualitas pendidikan kecuali de-ngan memperbaiki kesejahteraan guru. Diantara cara yang dapat ditempuh adalah dengan mening-katkan nilai kesejahteraan guru dan menambah jumlah anggaran pen-didikan pada umumnya seperti yang disitir oleh Soedijarto (2001) sampai minimal 4% dari GDP.
c. Perjuangan Sosial
Perjuangan sosial berarti mengembalikan citra guru yang status sosialnya dulunya pernah ‘jaya’ dibandingkan dengan profesi lainnya. Hal itu paling tidak tercer-min dari istilah guru adalah ‘orang yang dapat digugu dan ditiru’, sehingga Pak Lurah rela dan bangga kalau anaknya disunting oleh guru.
Apabila masyarakat Indone-sia telah benar-benar mencapai masyarakat madani, penulis yakin mereka akan menghargai gurunya. Mereka sadar bahwa dalam mem-bentuk masyarakat seperti yang di-inginkan itu jasa guru sangat besar, mereka telah berjuang menjadi suri teladan agar para peserta didik yang juga akan menjadi anggota masyara¬kat meniru nilai-nilai yang telah di¬tanamkan dan diamalkan dalam ke¬hidupan keseharian di masyarakat itu. Akhirnya, mereka tidak rela kalau guru mereka hanya dihargai seperti yang sekarang ini.
d. Perjuangan Budaya
Perbaikan kualitas dan nasib guru dapat dilakukan melalui jalur budaya, dan perjuangan harus lebih banyak dilakukan oleh guru sendiri sebagai suatu corp. Dari sisi ini ha¬rus diakui bahwa guru adalah pen¬jaga nilai-nilai budaya masyarakat. Oleh karena itu, guru juga harus menjadi orang pertama penjaga ga¬wang mempertahankan nilai-nilai budaya masyarakat ini.
Kebudayaan sebenarnya bu-kan hanya berurusan dengan hasil-hasil peninggalan karya generasi ter¬dahulu, seperti patung, keramik, gedung atau situs bersejarah, akan tetapi juga tatanan nilai-nilai dan norma-norma atau kadang aturan yang tidak tertulis yang diyakini manfaatnya oleh masyarakat. Ter-masuk dalam hal ini adalah sopan santun dan menghargai kepada guru. Sebagai contoh apa yang dikemukakan Ki Hadjar Dewan-toro, Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Han-dayani, adalah salah satu nilai-nilai budaya Jawa yang telah meng-Indo-nesia yang patut dan perlu dipeli-hara oleh guru itu sendiri maupun bangsa Indonesia pada umumnya. Pelestarian nilai-nilai yang terkan-dung pada ajaran itu tidak sekedar dijadikan sebagai ujud fisik dari semboyan pada logo Depdiknas.
Kebudayaan dengan sistem pendidikan sebenarnya bukan me-rupakan suatu yang terpisahkan, meskipun sekarang ini Direktorat Jenderal Kebudayaan harus heng-kang dari Depdiknas, karena pen-didikan merupakan bagian dari ke-budayaan dan kebudayaan dapat diciptakan, dilestarikan dengan pen¬didikan yang baik atau bahkan dirusak dan dihancurkan dengan sistem pendidikan yang korup dan ‘ambu¬radul’. Penanaman nila-nilai menghargai guru seharusnya juga dapat dilakukan lewat pendidikan itu sendiri dan dapat terjadi secara otomatis, misalnya kalau guru mampu menampilkan dirinya di de-pan peserta didik dan masyarakat sebagai orang yang benar-benar berilmu, jujur, tidak pernah ‘nyambi’ mencari uang dengan me-ngorbankan tugas pokoknya, dan semua tingkah laku yang paling ti-dak mendekati ‘perfect’, maka para guru itu akan dihargai oleh peserta didik dan masyarakatnya sebagai orang yang pantas menjadi ‘tulodho’.
DAFTAR REFERENSI
- Delors, J., et al 1996. Learning: The Treasure Within, report to UNESCO of the International Comission of Education for the twenty-first century, Paris: UNESCO.
- Hadiyanto, ‘Mengentaskan Nasib Guru Dan Sistem Pendidikan Di Indonesia, Kapankah?’ Per-spektif Ilmu Pendidikan, Oktober 2001
- Hanson, John W. dan Cole S. Brembeck, 1966. Education and the Development of Nations, New York: Holt, Rinehart and Winston.
- Harbison, Frederick dan Charles A. Myers. 1965. Manpower and Education, Country Studies in Economic Development. New York: McGraw-Hill Book Company.
- Komite Reformasi Pendidikan, 2001. Naskah Akedemik Ran-cangan Undang-Undang Pen-didikan Nasional, Jakarta: Balit-bang Depdiknas.
- Lipset, Seymour Martin. 1963. Po-litical Man. New York: Anchor Books.
- Pullias, E.V., dan Young, J. D., 1977. A Teacher is Many Things, Bloomington: Indiana University Press.
- Sahertian, P. 1994. Profil pendidik profesional. Yogyakarta: Andi Offset.
- Soedijarto, 2000. Pendidikan Na-sional sebagai Wahana Mencer-daskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara Bangsa. Jakarta: CINAPS.
- Supriadi, D. 1999. Mengangkat Ci¬tra dan Martabat Guru. Yogya¬karta: Adicita Karya Nusa.
- Tilaar, H.A.R. 2000. Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Re-formasi Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.