Kebijakan Pendidikan Islam

Makalah ini membahas tentang Kebijakan Pendidikan Islam Mengenai Bahasa Pengantar, Kebijakan Pendidikan Islam Mengenai Kewajiban Bela Negara, Kebijakan Pendidikan Islam Tentang IMTAQ dan IPTEK, Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Multikultural, Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Politik, Kebijakan Pendidikan Islam Tengtang Ekonomi, Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Jaringan sosial, Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Home Industri, Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Menumbuhkan Sikap Kewirausahaan., Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Kejuruan, Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Isu-Isu Pendidikan Nasional dan Internasional,  Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Alih Teknologi, Kebijakan Pendidikan Islam Tengtang Ekonomi.

Kebijakan Pendidikan Islam Mengenai Bahasa Pengantar
Bahasa adalah alat komunikasi dalam hidup bermasyarakat (berkelompok), berbangsa dan beragama. Manusia adalah makhluk sosial yang diciptakan Allah untuk saling menjalin hubungan. Agar hubungan tersebut terlaksana maka dibutuh alat dan alat tersebut adalah bahasa. Dalam konteks kenegaraan bahasa sangat memegang peranan penting untuk mempersatukan masyarakat yang multi etnis. Bahasa yang dipakai disebut bahasa pengantar. Begitu juga dalam mempertautkan antar suku bangsa yang berada dalam agama yang sama, umpamanya agama Islam.

Dalam dunia Islam, kedudukan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar untuk memahami agama sangatlah urgen. Karena ajaran Islam yang terdapat dalam kitab suci al Quran dan hadis sebagai sumber ajaran yang kedua berlangsung dalam bahasa Arab. Maka hampir di seantero pelosok dunia yang didiami oleh orang muslim, bahasa Arab selalu dipelajari dan menjadi mata pelajaran dari tingkat dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Ini menandakan bahasa tersebut menjadi alat pemersatu umat Islam yang latar belakangnya dari berbagai bangsa.

Pada zaman kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah bahasa Arab menjadi bahasa Islam dan bahasa ilmu pengetahuan di Asia Tengah, sebagaimana bahasa latin menjadi medium perkembangan pengetahuan di Eropa dan sebagai bahasa kaum kristiani. Sementara itu di era dinasti Umayyah Andalus ada beberapa factor yang mendorong mereka mempelajari bahasa Arab, antara lain; (1) bahasa Arab merupakan bahasa tamaddun dan ilmu pengetahuan, (2) bahasa Arab merupakan bahasa resmi negara, dan (3) bahasa Arab juga menjadi bahasa agama yang berkaitan erat dengan al quran, hadis dan tradisi ilmu Islam.

Maka kebijakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar di dunia Islam tidak saja diberlakukan di negara timur tengah, akan tetapi bahasa pengantar tersebut bagi umat Islam di negara-negara non Arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan bahasa pemersatu dikala mereka bertemu seperti pertemuan akbar setiap tahun di kota suci Makkah dalam prosesi haji.


Kebijakan Pendidikan Islam Mengenai Kewajiban Bela Negara
Pengertian bela negara (jihad) secara sederhana adalah mengerahkan segenab tkemampuan ubtuk berperang di jalan Allah, baik secara langsung (terjun ke arena perang) atau dengan harta, menyampaikan pendapat, memperbanyak jumlah pasukan dan sebagainya. Secara umum, perang membela kehormatan negara adalah fardhu kifayah, namun tatkala kebutuihan sangat mendesak maka perang bagi kaum mukmin menjadi fardhu a’in.  Umat Islam berperang demi kedamaian dan keadilan bukan untuk unjuk kekuatan. Fazlurrahman menegaskan bahwa perang tidak dapat terelakkan untuk menjamin perlindungan terhadap aqidah islamiyah yang di atasnya ditegakkan system keadilan dan kebaikan.[1]

Era khalifah Umar bin Khattab, ia menulis kurikulum pendidikan yang kemudian dikirimnya kepada penguasa-penguasa Islam agar mengajari anak-anak berenang, berkuda dan panah. Ini menunjukkan bahwa kewajiban bela negara dalam kurikulum juga mendapat perhatian khusus. Dari situ kemudian dibentuklah lembaga-lembaga kepolisian, departemen pertahanan dan keamanan (diwan jund). Pada masa dinasti Umayyah tentaranya dirancang mengikuti struktur oraganisasi militer tentara Bizantium. Pada masa dinasti Abbasiyah dibentuk pasukan pengawal khalifah (haras) dan pengawal istana.



Kewajiban pokok tentang bela negara di Indonesia antara lain tertuang dalam undang-undang dasar 1945 pasal 27 ayat 3. yang berbunyi “setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. Dalam undang-undang nomor 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara diatur dalam pasal 9 ayat 2 yang berbunyi” keikutsertaan warga negara dalam upaya pembelaan negara diselenggarakan melalui; (1) pendidikan kewrganegaraan, (2) pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, (3) pengabdian sebagai prajurit tentara nasional Indonesia secara suka rela atau secara wajib, dan (4) pengabdian sesuai profesi.[2] Jadi kewajiban bela negara sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah, hal ini terlihat dalam peristiwa perang Badar dan beberapa perang jihat lainnya.

Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Alih Teknologi
Sesungguhnya  Islam telah mengenal teknologi sejak munculnya Islam itu sendiri yaitu pada masa Rasulullahhingga sekarang ini. Islam telah menghasilkan teknologi ilmu pengetahuan pada masa lalu, namun hal ini berpindah ke barat pasca penyerangan Hulagu Khan ke kota Baghdad dan munculnya renansain di benua Eropa. Alih teknologi sebenarnya secara tersirat nampak pada sabda Rasulullah “tuntutlan ilmu walau ke negeri Cina”, yakni Rasul memerintahkan umatnya untuk belajar dan terus menggali ilmu pengatahuan walau dalam jarak yang cukup jauh, dan mengapa Cina, karena orang Cina saat itu mahir dalam IPTEK, lebih-lebih dalam berdagang. Kebijakan lain Rasul adal;ah membolahkan mencangkok dan mengawinkan kurma.

Era dinasti Umayyah, terjadi penerjemahan buku-buku kimia dan kedokteran ke dlam bahasa Arab secara besar-besaran.[3] Khalid ibn Yazid menugaskan Steven, seorang ilmuan neoplatonis Aleksanderia, untuk menerjemahkan berbagai karya astronomi dari bahasa Yunani dan syiria ke dalam bahasa Arab.[4] Pada masa dinasti Abbasiyah berkuasa, terutama saat al Makmun menjadi khalifah, Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebijakan ini diambil oleh Al Makmun untuk memajukan khazanah ilmu orang-orang Islam, walau ia memanfaatkan orang non muslim sebagai penerjemah. Di era al Mutawakkil, lahirlah tokoh-tokoh ilmuwan muslim dalam berbagai bidang ilmu, sebut saja Ibnu Sina yang jago dalam bidang kedokteran, Al Kindi, Al farabi yang mahir dalam ilmu filsafat dan masih banyak yang lainnya.

Di Indonesia saat ini, terutama dalam bidang pertanian di desa-desa, laju penetrasi teknologi pertanian modern tidak kalah cepatnya. Di dunia pendidikan sejak tahun 1970 kebijakan pemerintah agar menggunakan radio dan televisi untuk meningkatkan mutu pendidikan yang merata di seluruh pelosok negeri ini. Namun akselerasi laju teknologi di Indonesia tidak secepat negara-negara maju seperti Amerika dan negara Eropa lainnya. Akan tetapi kebijakan pendidikan tentang alih teknologi sudah sangat mendapat perhatian serius dari pihak pemerintah.

Kebijakan Pendidikan Islam  Tentang IMTAQ dan IPTEK
Dalam perspektif Islam, iman bukan sekedar percaya kepada Allah, tetapi mencakup puila pengertian tentang siapa Allah yang kita percayai dan bagaimana kita besikap kepada-Nya serta kepada objek-objek selain Dia. Dengan demikian tekanan iman adalah amal, karena itu iman kepada Allah masih dibarengi dengan sikap taat kepada-Nya dalam bentuk ibadah dan aktualisasinya dalam bentuk amal saleh dimana pada akhirnya akan terbentuk kesalehan pribadi dan sosial. 

Sementara ilmu pengetahuan atau sains adalah himpunan penegtahuan manusia yang diperoleh melalui proses pengkajian dan dapat diterima rasio. Dengan kata lain, ilmu pengethuan adalah himpunan rasionalitas kolektif insan.[5] Adapun teknologi adalah penerapan ilmu pengatahuan kealaman secara sistematis dalam proses produktif ekonomis untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan umat manusia.[6]




Islam, melalui tatanan ajarannya menggambarkan betapa erat hubungan antara islam dan iptek sebagai hak yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Tegasnya hubungan antara Islam dengan iptek yang dituangkan dalam sebuah kebijakan adalah sangat inheren, erat dan menyatu. Bagi Islam teknologi harus mengandung muatan nilai etika yang selalu menyertainya saat diterapkan oleh umat. Sungguhpun hebat suatu teknologi, tetapi kalu digunakan untuk menghancurkan sesama umat manusia, memusnahkan lingkungan, maka Islam tetap berada di garda terdepan untuk menghalangi hal tersebut. Jadi teknologi dalam Islam harus berorienstasi pada amar ma’ruf nahi munkar.

Pada prinsipnya tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa juga menguasai ilmu pengetahuan. Bersandar pada penegasan al qur’an tentang peran utama manusia sebagai penghamba (‘abd) yang misinya adalah menyembah Tuhannya, dan juga tugas lain manusia adalah sebagai pengelola (khalifah)[7] yang mesti tahu cara memamfaatkan teknolgi untuk memakmurkan jagat ini. Apresiasi yang ditunjukkan oleh umat Islam terhadap ilmu pengetahuan adalah dengan lahirnya para cendekia yang sedikit banyaknya telah memberikan kontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu. Satu hal yang sangat menarik adalah para cendekia tersebut menunjukkan adanya perbaduan antara ilmu pengetahuan dengan iman.

Nah. Kebijakan pendidikan Islam tidak semata-mata berorientasi kepada kebutuhan ukhrawi saja, akan tetapi juga kebutuhan duniawi. Sebagai khalifatullah di bumi ini, maka manusia harus memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlandaskan iman dan taqwa.

Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Multikultural
Proses pendidikan sebenarnya hanya dapat diketahui keberhasilannya bila kita tempatkan dalam lingkungan kebudayaan suatu masyarakat. Kebijakan pendidikan multicultural merupakan serangkaian konsep dan azas yang dijadikan dasar rencana pendidikan dalam Islam untuk memberikan kesempatan kepada semua kelompok masyarakat dalam proses pendidikan untuk mencapai kemandirian.

Kebijakan pendidikan multicultural dalam lintasan sejarah dapat kita pada kiprah Rasul yang tidak membatasi umatnya untuk belajar dan kepada siapa saja mereka belajar. Golongan manapun boleh dijadikan guru asal  itu benar dan  juga boleh dimana saja serta dalam komunitas apa saja. Namun pendidikan di era Umayyah tidak begitu mendapat perhatian serius, barangkali karena situasi politik saat ini belum stabil dan masih berpusat pada perluasan daerah kekuasaan. Lain gi di era dinasti Abbasiyah, terutama  saat Al Makmun menjadi khalifah, pendidikan sangat mendapat perhatian khusus apalagi setelah “bait al hikmah” didirikan. Beberapa konsep multicultural yang diprakasai oleh institusi ini adalah (1) nilai-nilai kebebasan berekspresi, keterbukaan toleransi dan kesetaraan dapat dijumpai pada proses pengumpulan menuskrip-menuskrip dan penerjemahan buku- buku sains dari bahasa Yunani, (2) perbedaan etnik cultural dan agama  bukan halangan dalam melakukan penterjemahan. Dibuktikan dengan banyaknya sarjana non muslim dan berbeda kultur yang melakukan aktivitas tersebut.[8]

Inti dari pendidikan multicultural adalah (a) apresiasi terhadap adanya pluralitas budaya dalam masyarakat, (b) pengakuan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia, (c) pengembangan tanggungjawab masyarakat dunia, dan (d) pengembangan tanggungjawab manusia terhadap planet bumi. Sementara tujuan pendidikan multicultural adalah 1) mengembangkan perspektif sejarah yang beragam dari kelompok-kelompok masyarakat, 2) memperkuat kesadaran budaya yang hidup di tengah masyarakat, 3) memperkuat kompetensi interkultural dari budaya-budaya yang hidup di masyarakat, 4) membasmi rasisme, seksisme dan berbagai jenis prasangka, 5) mengembangkan kesadaran atas kepemilikan planet bumi, dan 6) mengembangkan aksi sosial. Sedangkan orientasi pendidikan multikultural adalah kemanusiaan (humanisme), kesejahteraan (welvarisme), kebersamaan (kooperatif), ketepatan (proposional), pengakuan pluralitas dan heterogenitas, serta anti hegemoni dan dominasi.[9]




Prinsip multikulturalisme ini sebenarnya telah menjadi acuan bagi pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan nasional. Hal ini seperti dirumuskan dalam penjelasan pasal 32 UUD 1945 yang berbunyi “kebudayaan bangsa Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.oleh karena itu prinsip ini dapat dijadikan strategi dan pendekatan dalam merajut hubungan antara warga yang memiliki keberagaman budaya, sekaligus dapat digunakan sebagai perangkat analisis guna memahami dinamika keanekaragaman latar belakang budaya, perbedaan sejarah,, suku, bangsa, rasial, golongan dan agama.

Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Politik
Pada hakikatnya politik dan pendidikan merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Teritama dalam proses pembentukan karakter masyarakat suatu Negara. Dalam banyak hal kaitan politik dan pendidiakn sering diistilahkan dengan politik pendidikan.

Ada beberapa pengertian mengenai politik pendidikan, di antaranya adalah seperti dikatan oleh Kimbrough “The politic of educational is the process of making basic educational decision of local district wide, state wide or nation wide significance”. (politik pendidikan adalah proses pembuatan keputusan-keputusan penting dan mendasar dalam bidang pendidikan baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional)[10]. Sementara itu Archer membedakan antara politik pendidikan dengan polittik kependidikan. Politik pendidikan mencakup semua interaksi sosial yang mempengaruhi pendidikan, sedangkan politik kependidikan adalah upaya untuk mempengaruhi, proses, penekanan atau aksi kelompok, eksperimentasi, investasi pribadi, transaksi local, inovasi internal atau propaganda.[11]

Kebijakan pendidikan Islam tentang politik bias kita saksikan lewat lembaran sejarah bahwa tidak dapat dipungkiri kalau lembaga pendidikan merupakan salah satu konstalasi politik. Peranan yang dimainkan oleh mesjid-mesjid dan madrasah-madrasah dalam mengokohkan kekuasaan politik para penguasa dapat dilihat dalam sejarah. Di lain pihak, ketergantungan kepada uluran tangan para penguasa secara ekonomis membuat lembaga-lembaga tersebut harus sejalan dengan nuansa politik yang berlaku.[12] Jadi jelaslah bahwa kebijakan pendidikan Islam terhadap politik sangat erat hubungan dengan sistem poilitik yang berlaku di Negara/daerah yang bersangkutan. Kajian pendidikan dapat memberikan pemahaman yang lebih tentang kaitan antara berbagai  kebutuhan politik Negara dan isu-isu praktis sehari-hari di sekolah.

Kebijakan Pendidikan Islam Tengtang Ekonomi
Keterkaitan pendidikan dengan ekonomi secara makro sengat berimplikasi pada kebijakan dalam pembiayaan pendidikan. Pada permulaan perkembangan Agama Islam rasulullah dan empat khalifah lainnya mengambil dua kebijakan ekonomi untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, yakni (1) mendorong masyarakat memulai aktifitas ekonomi, baik dalam kelompok sendiri maupun bekerja sama dengan kelompok lainnya tanpa biaya dari baitul mal, dan (2) kebijakan ekonomi engan menhgeluarkan dana baitul mal untuk membantu ekonomi masyarakat.

Pada periode Madinah, Rasulullah menerapkan kebijakan menyiapkan lapangan kerja bagi kaum muhajirin sekaligus peningktan pendapatan nasional kaum muhajirin dengan mengimplimentasikan aqad muzara’ah, musaqat dan mudharabah secara alami, perluasan produksi dan fasilitas perdagangan.[13]Sementara kebijakan lainnya adalah penerapan pajak, yang menyebabkan terjadinya kestabilan harga dan mengurangi tingkat inflasi. Untuk pengeluaran nagara, rasulullah mengeluarkan kebijakan fiscal secara khusus, yakni (1) meminta bantuan kaum muslim secara suka rela untuk memenuhi kebutuhan pasukan muslim, (2) meminjam peralatan dari kaum non muslim secara cuma-Cuma dengan jaminan pengembalian dang ganti rugi bila terjadi kerusakan, (3) meminjam uang dari orang-orang tertentu untuk diberikan kepada muallaf. Begitupun kebijakan-kebijakan ekonomi pada era kekhalifahan khulafaurrasyidin tetap mendistribusikan pendapatan Negara untuk kemakmuran rakyat.


Di Indonesia, kebijakan pemerintah tentang kewajiban sekolah sembilan tahun untuk rakyatnya, ternyata tidak dibarengi dengan dengan keseimbangan subsidi dana yang memadai. Padahal upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan bukan hanya sekedar perumusan kebijakan yang dibebankan kepada rakyat semata, namun Negara juga ikut andil untuk mensukseskan program tersebut. Di sinilah sebenarnya kita memerlukan keseimbangan (balancing).[14]


Deregulasi mutlak diperlukan, praktek bisnis tidak jujur dan monopoli perlu dihapus dan deregulasi di sektor pertanian, peternakan dan perkebunan serta usaha-usaha lain musti di perhatian dan terus digalakkan, guna mendorong tercapainya pemerataan, pengembangan usaha kecil dan menengah. Sehingga kesejahteraan yang diidamkan oleh msyarakat akan terwujud. Kebijakan pendidikan tentang hal tersebut akan menjadi marcusuar peningkatan taraf  kualitas pendidikan, yang akhirnya membawa kepada kebahagiaan masyarakat yang dicita-citakan. Insya allah.

Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Jaringan sosial
Program jaringan pengaman social merupakan upaya pemerintah untuk menyalurkan bantuan kepada masyarakat dalam wadah pengelolaan keuangan yang lebih terpadu, transfaran, dapat dipertanggungjawabkan, dan memberi akses langsung kepada masyarakat secara cepat serta berkesinambungan. Hal ini berakar dari krisis yang beralih dengan dengan cepat sekali dari krisis moneter kepada krisis ekonomi yang berkepanjangan sehinga berujung pada krisis politik social dan moral.[15]


Jaringan Pengaman Sosial berfungsi untuk 1) melakukan manajemen keluhan (complaint management), memfasilitasi pengelolaan keluhan dalam pelaksanaan program dengan cara mengumpulkan dan menyaring keluhan masyarakat serta memantau cara pelaksana menangani keluhan tersebut, 2) melakukan manajemen kompanye, yakni melakukan desiminasi dan sosialisasi program kepada masyarakat luas tentang program JPS, dan 3) menajemen pemencahan masalah (problem solving management) memberikan rekomendasi untuk penyempurnaan dalam perencanaan dan pelaksanaan program tersebut.[16]



Kebijakan pendidikan Islam mengenai jaringan pengaman social bertujuan untuk mengamankan warga masyarakat agar tidak terjerumus ke bawah tingkat kehidupan minimum yang dianggap “tidak layak” oleh masyarakat setempat. Hal ini sejalan dengan apa yang dianjurkan oleh Islam dalam surat Ali Imron ayat 92 yang secara implicit  menggambarkan bahwa kehidupan social itu adalah kehidupan yang menembus segala aspek dan lapisan serta sangat berkaitan satu sama lain, sehingga keterikatan struktur kehidupan akan terkonstrukkan melalui pembinaan sumber daya manusia yang berpendidikan, karena pendidikan merupakan sarana intelektual yang akan menempatkan kehidupan menuju kehidupan yang beradab, sejahtera dan makmur.


Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa koherensi pendidikan dan ekonomi dalam Islam mendapat posisi yang sangat urgen, karena pendidikan sebagai wadah pengeluaran yang sifatnya horizontal sementara ekonomi sebagai wadah tenaga kerja yang terdidik. Ini dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan hubungan timbal – balik antara ekonomi dan pendidikan.

Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Home Industri
Pada prinsipnya pendidikan secara umum mempunyai dua kebijakan tentang ekonomi, yakni pertama kebijakan human investasi yang meliputi pendidikan dasar, kurikulum, proses belajar mengajar dan pendidikan pelatihan dan tenaga kerja, kedua kebijakan human capital.

Dengan adanya keterampilan dalam mengelola ekonmi melalui sector home industri (industri rumah tangga), mereka yang putus sekolah dapat memasuki dunia usaha tanpa harus merengek-rengek kepada pemeintah, karena meeka sudah memiliki kemampuan sendiri akibat adanya kebijakan pendidikan tentang home industri. Isi mata pelajaran yang diberikan kepada siswa adalah hasil gabungan teori dengan realitas kehidupan dan guru harus bias memotifasi siswa untuk lebih faham hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya kepada kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, masyarakat dan keryawan.

Kebijakan pendidikan tentang home industri diharapkan dapat meningkatkan dan memperbaiki kinerja ekonomi baik di sekotor industri besar maupun industri kecil. Pendidikan juga harus dipersiapkan dalam menghadapi persaingan produk dunia yang sedemikian berat ari waktu ke waktu. Industri masa depan adalah industri yang secara terus menerus menciptakan kreasi dan nilai tambah (nilia plus) produk.

Di sisi lain, siswa kita tidak hanya dididik untuk berkompetisi test tertulis saja akan tetapi kompetisi aktifitas produk pun mesti digalakkan. Siswa tidak hanya diajar sesuatu yang berhubungan dengan kecerdasan kognitif saja tetapi ketrampilan psikomotorik semestinya mendapat luang yang sama dengan  kecerdasan yang dimaksud. Pertumbuhan ekonomi yang baik akan mampu menyerap atau mengurangi pertambahan jumlah pengangguran. Factor stabilitas politik dan keamanan akan ikut berpengaruh, maka harus ada koordinasi yang baik antar instansi pemerintah pusat dengan daerah. Hal ini dperlukan agar dalam menyusun kebijakan pendidikan dan program operasional mapu diarahkan kepada perluasan pencitaan lapangan kerja.

Kebijakan Pendidikan Islam tentang Upah dan Kesejahteraan
Ada beberapa pendapat ulama mengenai boleh tidaknya seorang pengajar mngambil upah atau gaji dari hasil mengajarnya. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud yang artinya”sesungguhnya mengajar al Qur’an adalah paling pantas untuk menerima upah” menjadi dasar bagi mereka untuk dapat menerima upah. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama kecuali Abu Hanifah. Beliau berpendapat bahwa mengajar al quran tidak boleh mengambil upah, tetapi mengajar ilmu yang lainnya boleh mengambil upah. Ibn Katsir berpendapat bahwa mengejar dengan upah yang telah disepakati sebelumnya adalah tidak boleh akan tetapi boleh menerimanya dari bait mal atau jika ada kesepakatan sebelumnya.[17]

Kebijakan upah dan kesejateraan pengajar di zaman rasul tergambar pada ketetapannya pada para tawanan perang Badar dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh anak kaum muslimin. Hal ini merupakan tebusan. Dalam pandangan Islam barang tebusan tersebut menjadi milik bait mal. Tebusan ini sama nilainya dengan pembebasan tawanan perang Badar, artinya Rasulullah telah memberikan upah kepada para pengajar dengan harta benda yang seharusnya menjadi hak bait mal.[18]

Dalam bentuk kesejateraan lain seperti menyediakan tempat tinggal kepada pengajar juga pernah dipraktekkan oleh Rasul, yakni ketika rasul memberikan rumah kepada guru baca tulis para istri Rasul, yaitu Asy Syafa’ binti Abdullah.[19] Menurut Syalabi, secara umum gaji guru dapat dibagi dalam 2 (dua) katagori, yakni yang berhubungan dengan waktu dad yang berhubungan dengan hasil pelajaran yang didapat oleh si anak[20]


Pada saat Nizam al Muluk mendirikan bayak madrasah di kota-kota, dia menetapkan peraturan gaji setiap bulan, namun kebijakan tersebut tidak diterima oleh para guru, karena mereka lebih mementingkan hidupnya terjamin walau tanpa gaji.[21]Syalabi melihat ada dua fakta yang melatar belakangi pembayaran upah kepada para pengajar saat itu, yaitu: 1) sedah sejak masa permulaaan Islam telah ada beberapa orang Islam diminta untuk memberikan pelajaran di mesjid-mesjid.  Bagi mereka mengajar adalah sesuatu yang tidak dimaksudkan untuk berkhitmad kepada ilmu dan mencari ridha Allah. Karena itu tidak ada seorang gurupun yang terdorong melakukan tugasnya kecuali jika ditentukan upah materi baginya, 2) kaum muslimin telah banyak menggunakan tenaga dari luar (non Muslim) untuk berkhitmad dalam bidang ilmiah dan untuk bekerja terutama dalam menerjemahkan buk-buku ke dalam bahasa arab. Maka mereka menerima gaji yang tinggi untuk pekerjaan mereka,[22]


Pada masa Umayyah, dimana telah ada pelajaran khusus yang diajarkan oleh seorang guru mata pelajaran yang mula-mula ditentukan oleh pemerintah Islam mengenai kisah-kisah dan cerita-cerita. Guru-guru ini digaji oleh pemerintah sejumlah sepulah dinar setiap bulan. Tinggi rendahnya pendapatan guru ditentukan pada dua factor, yaitu factor tempat dimana dia mengajar dan factor pada tingkatan mana dia mengajar. Lagi-lagi Syalabi melihat ada tiga golongan gaji dpandang dari aspek penghasilannya, yakni 1) mua’llim kuttab (guru-guru sekolah kanak-kanak), 2) muaddib (pendidikan putra-putri pembesar), dan 3) guru yang memberikan pelajaran di sekolah-sekolah.[23]


Meski mengajar pada awalnya dilakukan secara suka rela, namun Islam sendiri membenarkan untuk memberikan dan mengambil upah dari pekerjaan mengajar sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah dan para penguasa Islam setelahnya. Barangkali pada permulaan perkembangan pendidikan Islam, pengaturan gaji belum begitu teratur, namun seiring dengan berjalannya waktu peraturan tentang gaji dan kesejahteraan guru telah diatur sedemikian rupa dan bahkan telah menjadi suatu kebijakan pendidikan. 

Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Menumbuhkan Sikap Kewirausahaan.
Metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam pendidikan kewirausahaan pada hakikatnya sangatlah beragam, artinya tidak ada hal yang bersifat deterministik bagi aktifitas guru dalam mendesain proses pembelajaran. Hanya yang terpenting harus diperhatikan adalah 1) menghindari pengumpulan pengetahuan yang tidak ada manfaat bagi sasaran hidup peserta didik, 2) mengarahkan belajar peserta didik untuk mendapatkan pengalaman belajar yang bermanfaat bagi hidupnya dengan memanfaatkan pengetahuan yang didapatnya, 3) tidak mebatasi ruang yang dapat dimanfaatkan siswa untuk berfikir kreatif, 4) belajar siswa hendaknya tetap mengarah kepada pemecahan problematika hidup, 5) menggunkan media, sumber informasi dan metode pembelajaran yang bervariasi, dan 6) menciptkan suasana lingkungan belajar yang menyenangkan dan dapat memotivasi belajar siswa.

Proses pembelajaran dalam pendidikan kewirausaha harus diarahkan kepad keemanfaatan pengetahuan dan kemampuan belak hidup sasaran didik di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehingga belajar sambil bekerja menjadi sangat penting. Untuk itu, proses pembelajaranharus memperhatikan keseimbangan factor  bawaan (minat, motivasi, bakat) dan factor lingkungan (masyarakat dan pendidikan). Keselarasan antara potensi bawaan dan  lingkunagn akan membawa pencapaian tujuan pembelajaran seperti yang diharapkan oleh siswa sendiri.

Karena guru memegang peranan sebagai fasilitator, innovator dan motivator bagi belajar siswa, maka proses belajar individual menjadi sangat penting dengan memilih metode pembelajaran yang mengarah pada penemuan kemampuan dan keterampilan sesuai dengan keinginan, minat, motivasi, dan bakat siswa.
Pengumpulan pengathuan teoritis yang berlebihan tanpa ada maknanya bagi hidup merupakan pekerjaan yang sia-sia. Untuk itu perlu adanya perubahan yang mendasar dari visi dan misi pendidikan kewirausahaan dan profesi mengubah model dan system pembelajaran, dengan tidak berorientasi kepada pembentukan tukang tetapi harus lebih dari itu, yakni menumbuhkan sikap kewirausahaan yang tangguh .

Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Kejuruan
Berbicara tentang kebijakan pendidikan Islam khususnya mengenai pendidikan kejuruan, kita akan mendapatkan sesuatu yang sangat unik di dunia muslim di abad pertengahan. Para pejabat Negara memberikan ruang kepada praktisi akademik untuk mengembangkan pendidikan. Sekolah-sekolah tersebut kadang kala dilembagakan di bawah pengawasan dan bantuan Negara, seperti ditunjukkan oleh seorang wazir bani saljuk, Nizam al Muluk yang sangat memperhatikan dunia pendidikan, termasuk di dalamnya pendidikan kejuruan.

Pendidikan kejuruan memiliki karakteristik yang berbeda dengan pendidikan umum, ditinjau dari criteria pendidikan, substansi pelajaran dan lulusannya. Criteria yang ahrus dimiliki oleh pendidikan kejuruan adalah 1) orientasi pada kinerja individu dalam dunia kerja; 2) jastifikasi khusus pada kebutuhan nyata di lapangan; 3) fokus kurikulum pada aspek-aspek psikomotorik, afektif dan kognitif; 4) tolok ukur keberhasilan tidak hanya terbatas di sekolah; 5) kepekaan terhadapa perkembangan dunia kerja; 6) memerlukan sarana dan prasarana yang memadai; dan 7) adanya dukungan masyarakat . sementara itu Nolker dan Shoelfelt sebagaimana dikutip oleh Sonhaji menyatakan bahwa dalam memilih substansi pelajaran, pendidikan kejuruan harus selalui mengikuti perkembangan IPTEK, kebutuhan masyarakat, kebutuhan individu, dan lapangan kerja.[24]

Tidak begitu banyak literatur yang menunjukkan tentang pendidikan kejuruan di era kejayaan Islam. Namun pada rentang waktu 241 – 271, akademi Jundi shafur yang terletak di Persia Tenggara merupakan satu-satunya sekolah kejuruan yang terdapat dalam dunia Islam sat itu. Hal ini karena raja Anushirwan-i-adel (Anushirwan yang adil) memberikan perhatian yang sangat kepada dunia pendidikan kejuruan (sekolah khusus kedokteran) sehingga pada era inilah akademi kedokteran tersebut mencapai puncak dalam perkembangannya. Sekolah kedokteran ini terus hidup sampai akhir abad kesepuluh. Studi-studi tentang musik, astronomi dan geometri merupakan mata pelajaran pilihan sebelum seseorang menempuh pendidikan kejuruan kedokteran.

Hal yang menarik pada paruh abad kedua belas dan awal abad ketiga belas, kendatipun tendensi realitas ke arah kemunduran, namun abad ini masih tetap melahirkan beberapa cendekia yang menonjol. Dalam bidang kejuruan matemetika, ternyata ada sekolah Maragha, di bawah koordinator Nasiruddin Tusi dan al Maghribi (kitab yang terkenal adalah al Mutawasitah), dalam bidang musik, ternyata banyak risalat musical telah ditulis oleh para tokoh dari sekolah kejuruan Maragha. Safiuddin, merupakan tokoh penemu skala paling sistimatis. Di sisi lain, kitab Mizanul hikmah (The scale of wisdom) yang ditulis oleh Abdurrahman al Kawarizmi pada tahun 1121 M adalah salah satu karya fundamental dalam bidang ilmu fisika di  abad pertengahan. Pun dalam konteks keindonesiaan, kebijakan pendidikan di bidang kejuruan mendapat perhatian yang sangat signifikan. Karena pendidikan kejuruan adalah bagian dari usaha pemerintah dalam mempersiapkan tenaga-tenaga Indonesia yang siap pakai dalam berbagai bidang profesi dan keahlian.

Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Isu-Isu Pendidikan Nasional dan Internasional
Pendidikan memang tidak bebas nilai dan tidak juga bebas budaya. Pendidikan formal menjadi bagian yang sangat politis karena pendidikan bukan saja melibatkan semua lapisan pemerintah, tetapi juga berpengaruh dalam pembentukan warga sebuah Negara. Isu-isu pendidikan nasional yang sangat actual adalah rendahnya mutu pendidikan. Hal ini disebabkan karena perhatian pemerintah sangat rendah terhadap keberlangsungan proses pendidikan. Walau secara konstitusional komitmen nasional kepada dunia pendidikan sangat tinggi. Akan tetapi realitas di lapangan tidak demikian.


lihat FootNotenya makalah Kebijakan Pendidikan Islam di sini













.