1. Awal Islam
Mengenai problematika ketuhanan Al-Jaad dan Al-Jahm berusaha memfilsafatkan ide ketuhanan dan filsafat. Kedua, tokoh ini berlandaskan pada prinsip yang jelas yaitu : Al-Tauhid (mengesakan Allah) dan al-Tanzih (mensucikan Allah dari segala sifat yang tidak pantas disandangnya. Untuk itu baik al-Jaad maupun Al-Jahm berjuang keras untuk menjauhkan Allah dari segala sifat yang menimbulkan kesan bahwa Allah berjumlah banyak. Dalam hal ini, Al Jahm berlaku ekstrim sampai berani mengingkari sifat wujud, karena dinggap sebagai sifat hal-hal yang temporal. Al-Jaad dan Al-Jahm sama-sama menyucikan Allah SWT dari segala sifat yang tercampur noda temporalis dan perubahan.
Ini merupakan filsafat yang terlalu berani dan bertentangan dengan teks-teks agama, disamping tidak sejalan dengan kemerdekaan beriman di awal Islam. Filsafat ini berpengaruh pada kaum konservatif dan reformer yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu mereka mengacungkan pedang menyerang keras pandangan filsafat ini. Mereka menuduh bahwa tokoh ini adalah kafir dam zindik. Serangan ini berjalan terus hingga zaman Ibnu Taimiyyah yang mencampuradukkan antara aliran Jahmisme dengan aliran Mu’tazilah (hal: 34). Al-Jaad dan Jahm hidup sejaman dengan Washil bin Atha (130 H=848 M) dan Amr bin Ubaid (144H=762M). Pendiri aliran Mu’tazilah ide-ide dari Al-Ja’d dan Al-Jahm merembes ke dalam pemikiran Wasil dan Amar. Kedua orang Ini mempunyai andil dalam melahirkan aliran ini. Memang tidak dapat disangkal bahwa ada kesamaan antara pandangan mereka dengan pandangan sebagian orang Mu’tazilah, namun kesamaan ini tidak harus berarti bahwa mereka adalah satu. Betapapun ada polemik, namun Al-Jahm dan Al-Ja’d termasuk peletak sendi-sendi filsafat ketuhanan dalam Islam. Kedua tokoh ini mengatakan pandangan-pandangan yang mampu mengobarkan perdebatan panjang di kalangan pemikiran berikutnya, baik itu kaum teolog maupun filosof (hal:35).
2. Kaum Salaf
Yang dimaksud kaum salaf adalah mereka yang memegangi Al-Ma’sur (Al-Qur’an dan Al-Sunah) mendahulukan atas kajian atau al-Diroyah dan mendahulukan Naqli (Al-Qur’an dan Assunah).
Penerjemah tidak perlu menunjukkan bahwa kaum salaf menggambarkan sifat-sifat ketuhanan (uluhiyah) mirip dengan uraian yang diberikan oleh kelompok-kelompok yang mendahului Socrates. Sebagaimana disebutkan tadi di atas, bahwa kaum salaf ini berpegang pada Al-Ma’sur dan Manqul (teks-teks agama baik hadits maupun Al-Qur’an) ini merupakan hujjah yang amat dipatuhi oleh mayoritas umat. Ia memberikan kekuatan pada kaum salaf untuk menentang musuh mereka yakni, orang-orang Atheis, ekstrimis dan reformis, ketika pertentangan ini mereda, maka gerakan salaf mulai tenang, terutama sekali karena Al-Asy’ari amat dekat pada akidah salaf, sehingga alirannya menjadi madzhab Assunah wal Jama’ah yang mana kritikik ibnu Hazm merupakan Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak membahayakan.
Bisa dikatakan bahwa gerakan salaf pada abad-abad belakangan ini lebih memfokuskan diri pada masalah-masalah ibadah, dan cabang. Sebaliknya, tidak memfokuskan diri pada masalah-masalah akidah dan prinsip-prinsip memerangi noda-noda syirik, wasaniah, mengeramatkan kuburan dan mengangkat orang-orang mati atau yang masih hidup sebagai pemberi syafaat di sisi Allah. Kaum Wahabi yakni para pengikut Muhammad bin Abd Waham (1787M=1201H) dan para pendukung gerakan Muhammadiyyah –menyerukan untuk memegangi makna sharih (tegas) dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Mereka menganggap setiap hal yang tidak ada landasannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah bid’ah. Mereka penakwilan bahkan menganggap diri mereka sendiri sebagai generasi penerus Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyyah khususnya. Dakwah mereka secara asasi berlandaskan pada asas, pada sikap memerangi perbuatan bid’ah.
3. Mu’tazilah
Orang-orang Mu’tazilah adalah pendiri yang sebenarnya bagi ilmu kalam (Teologi Islam). Hampir setiap pemikiran penting dalam ilmu kalam ditemukan landasannya di kalangan mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa teori ketuhanan menurut Mu’tazilah adalah teori Abstrak murni dan rasional mutlak, yang mengatasi semua yang bersifat material dan jasmani. Teori ini mirip dengan pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh para filosof ketuhanan yang rasional baik dalam sejarah, klasik maupun modern. Dalam menyuguhkan teori mereka bertumpu pada akal.
Kaum Mu’tazilah membela teori ketuhanan dengan sekuat tenaga untuk menolak kaum dualis yang terdiri atas madzakiyah dan manawiyah. Dalam rangka pembelaan ini, mereka memanfaatkan segala prinsip yang ada dalam peradaban-peradaban asing yang mereka kenal sejak dulu sudah nampak bahwa Al-Alaf dan Al-Najm membuka fikirannya untuk menerima sebagian pandangan filosof-filosof mu’tazilah dan Yunani. Mu’tazilah abad ketiga Hijriyyah tidak lebih sedikit terpengaruh dan mengambil pandangan filosof Yunani. Nampaknya Al-Jahid (869M=225H) merupakan contoh yang paling jelas untuk membuktikan itu. Menganggap sifat-sifat Allah SWT sebagai ma’ani, pengertian-pengertian Muamar bin Ibad Al-Sulami atau mengatakan bahwa sifat-sifat Allah adalah kondisi-kondisi (ahwal) seperti yang dilandaskan oleh Ibnu Asir Al-Jub’I mengingatkan kita pada filsafat pengertian-pengertian yang dikembangkan oleh Socrates (hal:60)
Di bawah suasana Islami, tumbuhlah kelompok Qurra (tekstualis) dari kalangan Yahudi. Mereka dalam hal keadilan dan kekuasaan Tuhan terpengaruh oleh pandangan-pandangan Mu’tazilah. Seperti halnya Mu’tazilah mereka mengkaji problematika sifat-sifat Tuhan.
Kaum Mu’tazilah memperluas ruang gerak bagi akal bahkan bertumpu pada akal disamping Al-Qur’an dan Hadits. Muhammad Abduh walaupun cenderung kepada kaum salaf termasuk pendukung aliran rasional. Ia berjuang keras memadukan agama dengan akal, agama dengan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan. Ia begitu mendukung pandangan Mu’tazilah tentang kemerdekaan dan kebebasan memilih individu. Kini jelas sudah bahwa Mu’tazilah membuka berbagai macam pintu di hadapan pemikiran Islam. Juga memperluas jalur bagi studi ilmiah dan filosofis. Dengan Mu’tazilah diperangi dan ditumpas berarti juga merugikan dunia Islam dan menghambat gerak kemajuan.
4. Aliran Al-Asy’ariah dan Al-Maturidiah
Kaum Asy’ariyah adalah aliran sikretis yang berusaha mengambil sikap tengah-tengah antara dua kutub akal dan naql, antara kaum salaf dan mu’tazilah. Titik tengah yang sebenarnya, selamanya tidak jelas dan tak terbataskan. Orang yang melakukan perpaduan bisa cenderung ke kanan atau ke kiri.
Al-Maturidiah merupakan salah satu sekte Ahl-Al-Sunnah wal Jamaah, yang tampil bersama dengan Asy’ariyah. Maturidiah dan Asy’ariyah dilahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang sama.
Teori ketuhanan menurut kaum Asy’ariyyah adalah kaum salafiah (yang mengatakan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat) seperti halnya kaum salaf. Mereka meneguhkan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya dan membedakan sifat yang disifati (al-Mausuf). Jadi Allah mengetahui dengan ilmu berkuasa karena sifat kuasa. Kekuasaan Allah adalah satu, dan diterapkan pada semua hal yang menjadi objek kekuasaan-Nya. Maka apapun yang ada di alam ini haruslah lahir dari kekuasaannya. Ilmu Allah SWT adalah azan dan mencakup semua subjek pengetahuan, tanpa melalui indera maupun pembuktian “wajah-wajah (orang yang beriman) pada hari itu berseri-seri, mereka memandang Tuhannya (Al-Qiyamah : 22-23). Firman Allah adalah sifat-sifat azali. Al-Qur’an adalah firman Allah sebab itu bukan makhluk. (hal : 68-69).
Teori ketuhanan menurut aliran Maturidiah sama seperti halnya orang-orang Asy’ariyah, memegang teguh teks-teks agama Al-Ma’sur, karena seperti halnya orang-orang Asy’ariyah mereka adalah kaum salaf. Mereka memberikan ruang gerak tempat mereka memperluas cakrawala pemikiran kepada akal, tetapi secara global mereka lebih dekat kepada kaum Asy’ariyah dibandingkan kepada Mu’tazilah. Mereka meneguhkan bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang berbeda dari segala yang temporal. Jadi Allah Maha Mengetahui karena suatu ilmu yang tidak seperti ilmu-ilmu (yang selama ini dikenal pada ilmu mahluk), juga maha kuasa karena suatu kekuasaannya tetapi tidak seperti kekuasaan (makhluk). Kalam merupakan sifat yang ada pada zat Allah, bukan merupakan sifat yang ada pada zat Allah, bukan merupakan jenis huruf maupun suara yang temporal seperti makhluk itu. Al-Maturidi berpendapat bahwa melihat Allah adalah hak dan harus tanpa bagaimana (bisa digambarkan bagaimana caranya) tidak berhadapan maupun membelakangi, tidak terang maupun gelap. Sifat-sifat Al-Ma’ani yang dikenal sebagai sifat yang ada pada zat itu, oleh kaum Maturidiah ditambah dengan suatu sifat lagi-yakni sifat Attakwin (Maha Pencipta) yang mereka dasarkan pada firman Allah SWT (Q.S. Yasin : 82). Dalam hal ini kaum Maturidiah hanya berlandaskan pada ajaran agama, al-sam. Mereka didukung oleh Fakhr Al-Dien Al-Raji salah seorang penganut aliran Asy’ariyyah yang menetapkan bahwa akal tidak mampu mendatangkan bukti bahwa Allah bisa dilihat.