Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Rekrutmen

Makalah Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Rekrutmen oleh : Al Husaini M.Daud

Pendahuluan.
Pendidikan sebenarnya memiliki peranan yang sangat penting dalam mengembangkan peradaban Islam dan mencapai kejayaan umat Islam. Dilihat dari objek formalnya, pendidikan memang menjadikan sarana kemampuan manusia untuk dibahas dan dikembangkannya. Dalam pengalaman sejarah, ini kalau kita mau bercermin, tidak ada satu pun negara mampu mencapai kemajuan yang hakiki tanpa didukung penyempurnaan pendidikan. Negara-negara Eropa yang terkenal sebagai kawasan negara-negara yang majuitu sebenarnya sebagai akibat dari pembangunan pendidikannya[1]. Artinya sebelum berhasil mencapai kemajuan sains dan teknilogi telah diawali dengan memperbaiki system pendidikannya.

Tuntutan untuk meningkatkan mutu pendidikan terus mengalir seiring dengan perkembangan zaman. Tidak hanya karena berbagai laporan yang diterima, baik dari hasil penelitian maupun informasi data pendidikan yang ada. Peningkatan kualitas tersebut pun sangat ditentukan oleh kualitas input, proses, out put dan out comes.[2] Masing-masing subsistem tersebut saling mempengaruhi dan saling mendukung satu sama lain. Rekrutmen  siswa merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dan kualitas pendidikan. Salah-salah dalam meng-input, maka akan sulit dalam mengakses proses pembelajaran, sehingga mengakibatkan out put yang nihil nilai. Akhirnya out comes yang diharapkan hanya sekedarnya tanpa kualitas. Memang kadang kala, kita terlalu berlebihan mengharapkan sekolah sebagai sponsor keberhasilan atau sebagai faktor pokok dalam mengorbit orang di tengah-tengah masyarakat.[3] Namun disadari ataupun tidak, permulaan yang baik adalah awal dari keberhasilan selanjutnya.

Esensi utama dari tujuan pendidikan Islam itu adalah menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-oeranan tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan datang. Lantas bagaimana generasi dimaksud bisa berdaya bila yang direkrut adalah insan dibawah standar? Atau bagaimana pendidikan Islam mampu menghasilkan lulusan-lulusan yang militan dalam berfikir dan berkapasitas intelektual kalau yang masuk pada lembaga pendidikan Islam adalah masyarakat opkiran dari lembaga pendidikan lain?.


Makalah mini ini mencoba membedah (walau tidak semaksimal yang diharapkan tapi barangkali bisa menjadi sinar pagi yang membuka mata kita dari tidur lelap di ruang intelektual) hal sangat prinsipil dalam mengawali upaya menghadirkan sosok generasi Islam masa depan yang mumpuni dan tercerdaskan. Mudah-mudahan kepingan kecil tulisan ini menjadi materi kontemplasi bagi kita agar kebijakan Islam dalam merespon dunia pendidikan di masa yang akan datang menjadi lebih baik.




Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Rekrutmen Siswa.
Sepanjang kesaksian anak zaman dari generasi ke generasi, kekalahan umat Islam akibat serangan Hulago Khan terhadap Baghdad sebagai pusat kekuasaan Islam di abad ke 13 (1258 M) mengakibatkan kemunduran umat Islam dalam segala bidang kehidupan, baik ekonomi, politik, budaya dan tak luput juga nasib tragis dialami oleh dunia pendidikan. 

Pasca penghancuran itu, pendidikan Islam tidak lagi bisa menjadi alternatif bagi para pelajar dan mahasiswa dalam skala internasional yang ingin memperdalam ilmu pengetahuan.[4] Di satu sisi nilai nilai pendidikan yang pernah disemai oleh Islam di masa kejayaannya masih ingin dipertahankan, namun pada sisi yang lain perangkat pembelajaran tidak lagi menjanjikan untuk dimplemantasi, kerena sudah hancur bersama lenyapnya kedigjayaan kekuatan Islam saat itu.

Namun sebelumnya, mari kita coba mengintip melalui jendela sejarah untuk meneropong kiprah Rasul di masanya dalam membentuk peradaban Islam melalui pendidikan. Pasca hijrah kaum muslimin ke Yasrib (Madinah) pekerjaan besar Rasulullah adalah membina masyarakat Islam yang baru terbentuk. Karena masyarakat merupakan wadah dari pengembangan kebudayaan, maka berbarengan dengan pembinaan masyarakat itu diletakkan pula dasar-dasar kebudayaan Islam sehingga terwujud sebuah masyarakat Islam yang kokoh dan kuat.[5]

Lembaga utama dan pertama yang dibangun oleh Rasulullah dalam rangka pembinaan masyarakat ini adalah mesjid. Pertama mesjid yang didirikan adalah mesjid Quba, selang beberapa hari kemudian didirikan juga mesjid Nabawi di Madinah setelah Rasul tiba di sana. Di tempat inilah proses pembelajaran bagi kaum muslim berlangsung dengan tidak memperhatikan sistem penyeleksian pada saat rekrutment. Artinya yang belajar di mesjid tersebut adalah mereka yang baru masuk Islam. Jadi kebijakan pendidikan saat itu berkisar pada materi yang diajarkan, yakni memahami al Quran dan hadis untuk memperdalam pengajaran aqidah, akhlak, mu’amalah dari kisah-kisah dalam al quran, maka atensi sesudah itu, sesuai dengan kebutuhan zaman, tertuju pada ilmu-ilmu yang diwariskan oleh bangsa-bangsa sebelum munculnya Islam.[6] Seiring dengan hal tersebut itu, pendidikan masih dimaksudkan pada tataran pembentukan akhlak Islamiyah kaum muslim serta dalam tahap mempertautkan hati kaum muslimin yang masih berserakan ke dalam bingkai persuadaraan seiman dan seagama.

Hal ini dapat dimaklumi, Karena situasi saat awal perkembangan agama Islam masih sangat carut marut, sehingga untuk memberikan pengajaran-pengajaran tentang Islam, rasul mengumpulkan sahabat-sahabat yang baru masuk Islam di rumah sahabat-sahabat tertentu, dan yang paling terkenal adalah rumah milik al Arqam. Ini merupakan tempat yang pertama kali digunakan untuk mendidik umat Islam. Hal ini dilakukan oleh nabi karena Arqam adalah sahabat yang setia sekaligus lokasinya sangat baik dan strategis terhalang dari penglihatan kafir quraisy yang berada di bukit safa.[7] Hal ini penting dilakukan untuk memberi keamanan dan ketenangan kepada kaum muslimin yang sedang mengadakan kegiatan dan pertemuan di rumah tersebut guna menerima pelajaran dari Rasulullah.

Sementara itu, Suffa (satu bagian dari mesjid yang dibangun nabi di Madinah dan disediakan sebagai tempat pendidikan, khususnya untuk belajar membaca, menulis, menghafal al quran dan tajwid) bukanlah satu-satunya sekolah yang ada di Madinah. Paling tidak terdapat sembilan mesjid pada masa itu dan masing-masing dari mesjid tersebut juga dimanfaatkan sebagai sebuah sekolah. Pendudk sekitar mengirim anak-anak mereka ke mesjid-mesjid setempat. Quba terletak dekat dengan Madinah, dimana nabi kadang kala mengunjungi dan secara pribadi mengawasi sekolah yang ada di dalam mesjid itu. [8] Di sini tidak nampak ada sistem yang khusus tentang rekrutmen peserta didik, malah ketika itu siapa saja yang berminat dan berkeinginan untuk belajar akan ditampung tanpa ada pemungutan apapun. Karena memang saat itu kebijakan pendidikan tentang raw input boleh dari mana saja asal mereka tertarik untuk menggali ilmu pengetahuan.

Sistem rekrutmen yang dilakukan pada waktu itu tidak melihat kepada batas umur dan kompetensi siswa. Akan tetapi lebih kepada usaha agar kaum muslim dapat terhindar dari petaka buta huruf. Maka bisa kita lihat pada kebijakan Nabi membarter tawanan perang badar dengan harus mengajari kaum muslimin membaca dan menulis huruf, tanpa memperhatikan berapa usia mereka, yang penting kaum muslimin tidak lagi tuna baca dan tuna tulis. Dan ini juga terjadi di halaqah-halaqah mesjid dan di rumah Arqam bin al Arqam yang merupakan bukti tak terbantahkan[9] bagaimana Rasul sangat memperhatikan pendidikan umatnya walau masih dalam skala sangat sederhana.

Berlanjut pada zaman khulafaurrasyidin, sesuai dengan pendapat Langgulung bahwa kebijakan pendidikan tentang rekrutmen siswa pada masa itu setali tiga uang dengan masa Nabi, artinya, tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan baik dari segi kurikulum, materi, pelaksanaannya maupun dari segi penyeleksian siswa. [10] pusat-pusat pendidikan era khulafaurrasyidin danbani umayyah adalah (1) Makkah dan Madinah (Hijaz), (2) Bashrah dan Kuffah (Iraq), (3) Damsyiq dan Palestina (Syam) dan (4) Fushtath (Mesir).[11]

Namun era kekhalifahan sistem monarkhi dalam Islam (era dinasti Umayyah dan Abbasiyah) pernah ada pendidikan yang khusus direkrut anak-anak para raja saja dan proses belajar berlangsung di istana. System pendidikan tersebut disebut pendidikan rendah istana.  Hal ini muncul dari pemikiran bahwa putra-putra khalifah dan pembesar istana harus mendapat pendidikan untuk menyiapkan mereka agara dapat melaksanakan pekerjaan-pekerjaan berat yang akan dipikulkan ke atas pundak mereka di masa depan.[12]



Kebijakan Pendidikan Islam tentang Rekrutmen di Indonesia.
Belum menggembirakan kualitas pendidikan di Indonesia sehingga tidak mampu bersaing di era global yang memang memerlukan kehandalan kompetitif disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya raw input-nya sendiri, yaitu manusia yang akan diproses di dunia pendidikan, instrumen inputnya, baik berkenaan dengan guru, kurikulum, arana fasilitas, buku dasar dan lain-lain. Selanjutnya environmental inputnya, lingkungannya, terutama di sini adalah lingkungan social budayanya, termasuk sikap kita terhadap pendidikan.[13]


Khusus tentang rekrutmen siswa sebagai raw inputnya, setelah dikeluarkannya UU No. 2 Tahun 1989, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian dilanjutkan dengan Peraturan Pemerintah yang meliputi PP. No. 27 (prasekolah), No. 28 (pendidikan dasar), No. 29 (pendidikan menengah), dan No. 30 (pendidikan tinggi), maka lembaga-lembaga pendidikan yang ada menyesuaikan diri dengan peraturan yang dimaksud[14]. Di antaranya dengan sistem penyaringan siswa-siswa yang berprestasi untuk masuk ke perguruan-perguruan tinggi Islam (seperti IAIN) melalui jalur PSB (penjaringan siswa berprestasi).


Kalau kita perhatian sistem penjaringan siswa di lembaga-lembaga pendidikan Indonesia, semua mekanismenya diserahkan kepada lambaga pendidikan yang bsersangkutan untuk menata dan menyeleksi siswa/mahasiswa sebagai raw input yang akan diproses nanti di lembaganya. Biasanya kriteria seleksi berkisar pada informasi data diri objektif (akademik, hasil pemeriksaan psikologis) dan informasi data diri subjektif (kesehatan, Persetujuan orang tua, pengamatan dan wawancara). Ada sekolah/perguruan tinggi yang menetapkan standar lulus seleksi di lembaganya adalah nilai ujian nasional rata-rata minimal 8.50, nilai raport rata-rata minimal 8,0, nilai test akademik rata-rata minimal 8.0. sementara nilai hasil pemeriksaan psikologis seperti berikut ini; IQ harus 125, nilai CQ harus di atas rata-rata dan test commitment pun harus di atas rata-rata.[15]


Untuk melihat proses pencapaian hasil yang maksimal terhadap outpun, siswa harus dinilai dari awal pada proses rekrutmennya. Penilaian tersebut melalui test yang dibuat dengan standar nasional yang mencakup berbagai aspek kognitif, afektif dan psikomotorik maupun aspek psikologis lainnya. Proses akan memberikan masukan ulang secara objektif kepada orang tua mengenai anak mereka (siswa) dan kepada kepala sekolah yang bersangkutan dan kepala sekolah lainnya mengenai porfoman sekolah sehubungan dengan proses peningkatan mutu pendidikan itu sendiri.[16]


Penutup.
Suatu hal yang tak dapat dipungkiri oleh siapapun yang bertanggung-jawab atas keberlangsungan pendidikan adalah bahwa merencanakan sistem pendidikan yang mudah diproses dan diakses sehingga menghasilkan outpun yang maksimal adalah suatu keniscayaan yang selalu didambakan. Hal tersebut takkan terwujud jikalau pada proses awal rekrutmen tidak diperhatikan, karena apapun ceritanya awal yang baik akan melahirkan akhir yang baik pula. Tapi bila proses rekrutmen siswa dalam dunia pendidikan kita tidak menjadi fokus utama maka lulusan yang diharapkan juga akan mengalami kendala.


Sayangnya, hal ini seakan kurang mendapat perhatian di dunia pendidikan Islam, baik di negara-negara Islam maupun di negara kita Indonesia. Barang kali kondisi negara-negara Islam (masuk katagori negara-negara berkembang) masih belum sampai kepada taraf yang dimaksud. Naum usaha untuk itu hendaknya terus dipicu dan dikedepankan. Agar ketertinggalan kita dengan dunia barat dapat terimbangi kalaupun tidak melebihi mereka. Semoga.


Mau FootNote Makalah Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Rekrutmen..klik di sini













.