Fungsi Politik dan Strategi Nasional dan Hal yang Bertentangan dengan Politik dan Strategi Nasional

Fungsi Politik dan Strategi Nasional dan Hal yang Bertentangan dengan Politik dan Strategi Nasional

1. Kondisi Umum
Secara bertahap krisis multidimensi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada tahun 1998 dapat dipulihkan. Di bidang Pertahanan dan Keamanan, berbagai konflik sosial yang terjadi di Maluku, Kalimantan, dan Sulawesi dapat diselesaikan dengan baik. Pihak-pihak yang terlibat konflik baik secara sukarela maupun difasilitasi oleh pemerintah beritikad untuk menciptakan suasana damai sehingga kehidupan sosial ekonomi secara berangsur memulih kembali. Selanjutnya gerakan separatisme di Nanggroe Aceh Darussalam yang membahayakan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memasuki tahapan penyelesaian; serta aksi separatisme di Papua dan Maluku diupayakan penyelesaiannya secara komprehensif Dalam hubungan luar negeri terutama dengan negara-negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia, permasalahan perbatasan dan pelanggaran wilayah negara Indonesia dapat diselesaikan melalui proses hukum dan diplomasi sehingga tidak memperburuk hubungan antar negara.
Gangguan keamanan dan kejahatan konvensional yang timbul sebagai akibat dari krisis multidimensi semakin dapat dikendalikan. Kejahatan transnasional yang meningkat intensitasnya di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, dapat ditangani dengan baik sesuai dengan hukum yang berlaku.
Kesemuanya ini merupakan modal yang kokoh bagi terciptanya rasa aman, damai, dan tertib dalam kehidupan masyarakat dan tegaknya kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta melanjutkan pembangunan nasional.
Di bidang politik, proses demokratisasi yang berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini mengubah sistem politik serta peran negara dan masyarakat secara mendasar. Amandemen UUD 1945, disahkannya berbagai peraturan perundangan di bidang politik termasuk peraturan perundangan mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, terciptanya format hubungan pusat dan daerah berdasarkan perundangan-undangan otonomi daerah, serta adanya konsensus format baru hubungan sipil milter telah mengubah struktur politik ke arah kehidupan politik yang demokratis. Tuntutan masyarakat luas untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik serta tuntutan atas hak mengeluarkan pendapat dan aspirasi secara bebas telah menjadi salah satu karakteristik utama dalam kehidupan politik saat ini. Perubahan-perubahan mendasar ini apabila dikelola secara tepat, dapat menjadi modal yang penting dalam melanjutkan proses demokratisasi ke depan.
Dalam bidang hukum terjadi perubahan yang cukup mendasar di bidang ketatanegaraan antara lain dengan pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial yang merupakan lembaga tinggi negara dan berkedudukan setingkat Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. Selanjutnya melalui Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU Tentang Kepailitan dibentuk pengadilan niaga untuk membantu kepentingan dunia usaha dalam penyelesaian masalah utang piutang.
Dukungan hukum bagi pembentukan pemerintahan yang bersih dan berwibawa didorong dengan persiapan pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi. Selanjutnya pembinaan empat lingkungan peradilan (peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan agama, dan peradilan militer) secara bertahap diserahkan kepada Mahkamah Agung sehingga independensi peradilan dalam menyelenggarakan fungsi kehakiman dapat lebih terjaga. Rangkaian kemajuan ini merupakan landasan yang kuat bagi pembangunan hukum selanjutnya.
Di bidang ekonomi, stabilitas ekonomi terus meningkat. Sejak memasuki tahun 2002, nilai tukar rupiah relatif stabil dengan kecenderungan menguat, laju inflasi dan suku bunga menurun, serta cadangan devisa meningkat. Dalam tahun 2003, rata-rata kurs harian rupiah mencapai Rp 8.578,- per dolar AS atau menguat 8,5 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya; laju inflasi menurun menjadi 5,1 persen; serta suku bunga SBI 1 bulan turun menjadi 8,3 persen.
Kinerja sektor eksternal juga membaik. Dalam keseluruhan tahun 2003, penerimaan ekspor meningkat menjadi US$ 61,0 miliar didorong oleh ekspor migas dan nonmigas yang naik masing-masing sebesar 12,6 persen dan 5,2 persen. Dalam tiga triwulan pertama tahun 2003, surplus neraca transaksi berjalan mencapai US$ 5,9 miliar serta defisit neraca transaksi modal dan finansial menurun menjadi US$ 246 juta. Pada akhir Desember 2003, cadangan devisa meningkat menjadi US$ 36,2 miliar atau US$ 4,7 miliar lebih tinggi dibandingkan akhir tahun sebelumnya. Stabilitas ekonomi yang meningkat juga tercermin dari ketahanan fiskal yang tetap terjaga. Dalam tahun 2003, defisit anggaran dan stok utang pemerintah mencapai 2,0 persen dan 66,4 persen dari PDB. Rangkaian kemajuan ini mendorong keyakinan untuk mengakhiri program kerja sama dengan IMF pada akhir tahun 2003.
Dalam pada itu, di bidang pembangunan daerah terjadi perubahan yang cukup mendasar pada tata pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota melakukan terobosan-terobosan sesuai dengan kewenangannya. Pemerintah daerah melakukan reorganisasi kelembagaan, penempatan sumber daya manusia aparatur Pemda, pengelolaan keuangan daerah, dan pengembangan kapasitas anggota legislatif di daerah.
Beberapa daerah secara aktif mengembangkan kawasan strategis dan cepat tumbuh. Dengan keterbatasan yang ada, beberapa wilayah tertinggal di sejumlah daerah ditangani melalui skema pengembangan permukiman transmigrasi; berbagai pembangunan sarana dan prasarana serta usaha ekonomi produktif berbasis kelompok masyarakat dikembangkan di perdesaan dan perkotaan; berbagai program pembangunan dilanjutkan, termasuk program penciptaan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan di perdesaan dan perkotaan. Rehabilitasi lingkungan permukiman kumuh di perkotaan diteruskan; serta berbagai peraturan pelaksanaan dalam pengelolaan pertanahan dan tata ruang dihasilkan.
Meskipun sejak krisis ekonomi perhatian lebih besar diberikan pada upaya untuk menciptakan stabilitas moneter dan ketahanan fiskal serta pembangunan infrastruktur dihadapkan pada keterbatasan sumber pendanaan yang sebagian besar masih tergantung pada pemerintah sehingga banyak pembangunan infrastruktur yang tertunda dan penyediaan dana untuk pemeliharaan menurun, fungsi Infrastruktur secara umum sebagai katalisator dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, dan pemersatu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia diupayakan tetap dipertahankan.
Di bidang Sumber Daya Manusia (SDM), berbagai upaya peningkatan kualitas SDM telah menunjukkan kemajuan yang menggembirakan, tercermin dari membaiknya beberapa indikator kinerja pembangunan seperti kependudukan dan keluarga berencana, pendidikan, kesehatan, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) tidak saja penting sebagai sumber pertumbuhan dan daya saing ekonomi, tetapi juga merupakan sumber terbentuknya iklim inovasi yang menjadi landasan bagi tumbuhnya kreativitas sumberdaya manusia. Tingkat kemajuan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi ditandai oleh sumbangannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang bersifat universal dan spesifik, dan pengembangan pada aspek yang bersifat terapan, dalam bentuk pemanfaatan produk litbang pada skala produksi dan komersial.
Dalam pada itu, kebudayaan yang merupakan modal dasar yang sangat penting sebagai salah satu sumberdaya utama pembangunan. Bangsa Indonesia pernah dikenal sebagai suatu bangsa yang memiliki peradaban terbuka dengan tingkat solidaritas dan kebersamaan yang tinggi. Selain itu, budaya bangsa yang sangat beragam juga mencerminkan kekayaan budaya nasional akan bentuk-bentuk kearifan nasional, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta keahlian yang bersifat spesifik dan unik.
Di bidang agama, kehidupan beragama berkembang dengan baik terutama pada tingkat pelaksanaan ritual keagamaan, yang didukung oleh meningkatnya penyediaan sarana dan fasilitas keagamaan, sehingga umat beragama lebih mudah melaksanakan ibadahnya. Hal tersebut ditandai dengan semakin tumbuh suburnya kegiatan keagamaan di masjid, surau, gereja, pura, dan vihara; semakin giat dan bergairahnya umat beragama dalam menjalankan dan mengamalkan ajaran agama masing-masing; serta semakin intensifnya pengkajian dan pendalaman agama untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pembangunan keagamaan juga memberikan andil yang cukup, besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat ditandai dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dalam membayar zakat, infak, sodaqoh, hibah, kolekte, dana punia, dan dana keagamaan lainnya dalam mendukung upaya penanggulangan kemiskinan, pembinaan yatim piatu, bantuan bencana alam, dan kegiatan kemasyarakatan lainnya.
Meskipun telah dicapai kemajuan di berbagai bidang pembangunan, masalah-masalah yang akan bidang dihadapi dalam kurun waktu dua tahun mendatang masih cukup besar yang pokok-pokoknya adalah sebagai berikut.

2. Lambatnya Reformasi
Kemajuan proses reformasi politik yang telah dilalui dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini masih dirasakan lambat dan belum memenuhi harapan rakyat. Belum mengakarnya perubahan kelembagaan dan demokrasi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan kendala utama berjalan lambatnya proses demokratisasi di Indonesia. Perubahan yang lamban ini dapat dipahami dengan masih mudanya usia demokrasi di Indonesia yang selama ini baru mencapai tahap infrastruktur demokrasi dengan berbagai kelemahannya. Konsistensi dalam menerapkan berbagai penyempurnaan dan penguatan struktur politik dan proses institusionalisasi nilai-nilai demokratis menjadi kunci keberhasilan proses awal reformasi politik ke depan.
Proses reformasi yang berjalan lambat juga terjadi dalam pembangunan hukum. Meskipun beberapa kemajuan dicapai di bidang hukum, masih banyak didapati produk hukum yang tidak sejalan satu dengan lainnya. Di samping itu juga masih terdapat produk hukum yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan keadaan sehingga menimbulkan stagnasi dan resistensi di dalam penerapannya. Sementara itu terjadi peningkatan apatisme masyarakat terhadap penegakan hukum yang dianggap telah meninggalkan nilai-nilai keadilan, diskriminatif, serta kehilangan impartialitas di dalam menangani berbagai kasus. Akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum berada pada tahap yang memprihatinkan dan dapat menjauhkan dari upaya untuk mewujudkan supremasi hukum. Selanjutnya rendahnya tingkat kesejahteraan apatur hukum telah menjadi pembenaran terjadinya korupsi. Kondisi ini berpengaruh buruk terhadap upaya pembangunan hukum sehingga penegakan hukum tidak dapat dilaksanakan secara penuh.
Reformasi birokrasi juga belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Memasuki tahun ke tujuh sejak reformasi digulirkan, perbaikan birokrasi pemerintah belum memperlihatkan kemajuan yang berarti. Ini tercermin dari masih tingginya penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), tidak efisiennya organisasi pemerintahan di pusat dan daerah, rendahnya kualitas pelayanan publik, dan lemahnya fungsi lembaga pengawasan.
Peran birokrasi yang profesional, yang mampu menciptakan kondisi yang kondusif bagi terpenuhinya kebutuhan masyarakat agar masyarakat mampu melakukan kegiatan lainnya secara mandiri belum nampak. Sementara itu masyarakat sangat mengharapkan pengurangan penyalahgunaan kewenangan serta peningkatan mutu layanan publik yang masih rendah. Tingginya KKN di lingkungan aparatur negara dan rendahnya mutu pelayanan publik telah mengakibatkan semakin hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Persoalan lainnya adalah sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan yang lemah dengan kompetensi sumber daya aparatur yang rendah. Lemahnya sistem administrasi publik ini telah berakibat pada menurunnya daya saing nasional dalam kompetisi regional maupun internasional. Selain itu masih banyaknya peraturan perundangan yang tumpang tindih berdampak tidak optimalnya mutu pelayanan kepada masyarakat.
Merebaknya KKN dalam banyak hal juga disebabkan oleh meningkatnya budaya konsumtif yang didorong oleh lingkungan pembangunan yang berorientasi materi. Perilaku hedonistis tersebut tidak didukung oleh peningkatan kemampuan yang produktif sehingga kesenjangan antara produksi dan konsumsi semakin lebar. Budaya konsumtif yang terlampau kuat mengakibatkan tumbuhnya budaya menerabas yang pada gilirannya menyuburkan budaya KKN dengan meminggirkan etika sosial serta etika berbangsa dan bernegara

3. Rendahnya Kesejahteraan Rakyat
Masih rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat tercennin dari tingkat pendapatan yang masih rendah, pengangguran yang masih luas serta biaya hidup yang tinggi dan masih sulitnya pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Hal ini makin dipicu oleh kurangnya pemahaman terhadap etos berkarya dan moral yang diajarkan oleh agama, lambatnya pembangunan sumber daya manusia, masih lemahnya daya dorong perekonomian, tingginya kesenjangan antar daerah, menurunnya penyediaan infrastruktur, serta menipisnya sumber daya alam dan menurunnya daya dukung lingkungan.
Meskipun kehidupan beragama berkembang lebih baik, pembangunan agama masih dihadapkan pada gejala negatif di tengah-tengah masyarakat yang sangat memprihatinkan, seperti praktik perjudian, perilaku asusila, pengedaran dan pemakaian narkoba, yang dapat merusak tatanan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Demikian pula ada kecenderungan makin rapuhnya etika dan nilai-nilai agama, yang ditandai oleh perilaku permisif yang tak lagi mengindahkan adab kesopanan dan kesantunan. Gejala tersebut menunjukkan bahwa akhlak mulia menurun dan sendi¬-sendi moral agama melemah. Berbagai perilaku masyarakat yang bertentangan dengan moralitas agama itu menggambarkan adanya kesenjangan yang mencolok antara pemahaman atas ajaran-ajaran agama dengan tingkah laku sosial. Selain itu dalam beberapa tahun terakhir muncul ketegangan sosial yang melahirkan konflik antarumat beragama yang bersumber dari sentimen agama yang diartikan secara sempit.
Di bidang sumber daya manusia, permasalahan dan tantangan yang dihadapi antara lain adalah masih tingginya kenaikan jumlah penduduk secara absolut. Meskipun telah terjadi penurunan fertilitas yang cukup berarti, namun secara absolut pertambahan penduduk Indonesia meningkat sekitar 3 sampai 4 juta jiwa per tahun. Hal ini disebabkan karena tambahan pasangan usia subur yang dihasilkan dari ledakan kelahiran atau 'momentum demografi' yang terjadi pada tahun 1970-an. Apabila penanganan masalah kependudukan tersebut tidak ditangani dengan baik dapat berakibat pada semakin beratnya upaya pemenuhan kebutuhan dasar penduduk.
Kualitas SDM Indonesia yang diukur dengan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang meliputi angka harapan hidup, angka melek huruf, angka partisipasi pendidikan dan PDB per kapita riil, masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Berdasarkan Human Development Report 2003, IPM Indonesia hanya menempati urutan ke-112 dari 175 negara. Begitu pula menurut Indeks Pembangunan Gender (Gender-related Development Index, GDI) Indonesia hanya menempati urutan ke-91 dari 144 negara. Tingkat kemajuan iptek nasional juga masih sangat rendah. Pada tahun 2001 Indeks Pencapaian Teknologi (IPT) Indonesia berada pada urutan ke 60 dari 72 negara.
Pembangunan pendidikan belum sepenuhnya mampu memberi pelayanan secara lebih merata, berkualitas dan terjangkau, yang antara lain ditunjukkan oleh masih tingginya penduduk buta aksara, rendahnya cakupan layanan pendidikan bagi anak usia dini, serta masih rendahnya partisipasi pendidikan terutama jenjang pendidikan menengah pertama dengan pendidikan tinggi, dengan kesenjangan yang masih cukup tinggi antarkelompok masyarakat seperti antara penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara penduduk di perkotaan dan perdesaan, dan antardaerah. Sebagian penduduk tidak dapat menjangkau biaya pendidikan yang dirasakan masih mahal dan pendidikan juga dinilai belum sepenuhnya mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat sehingga pendidikan belum dinilai sebagai bentuk investasi. Di samping itu fasilitas pelayanan pendidikan khususnya untuk jenjang pendidikan menengah pertama ke atas belum tersedia secara merata khususnya di daerah terpencil dan kepulauan sehingga menyebabkan sulitnya anak-anak terutama anak perempuan untuk mengakses layanan pendidikan. Fasilitas pendidikan dan layanan pendidikan bagi anak-anak yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa juga belum tersedia secara memadai.
Di bidang kebudayaan, upaya membangun ketahanan budaya bangsa belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Ketahanan budaya bangsa masih rentan karena adanya disorientasi tata nilai, krisis identitas, dan rendahnya daya saing. Di samping itu, dirasakan pula lemahnya kemampuan bangsa dalam mengelola keberagaman dan menegaskan peran kebudayaan untuk meningkatkan kemampuan bangsa secara. bersama-sama.
Dalam bidang ekonomi, meskipun terjadi peningkatan stabilitas ekonomi, kegiatan ekonomi belum tumbuh sebagaimana yang diharapkan. Dalam tahun 2000-2003, perekonomian hanya tumbuh rata-rata sekitar 4,0 persen per tahun; jauh lebih rendah dibandingkan dengan sebelum krisis yang mampu tumbuh rata-rata sekitar 7 persen per tahun. Lambatnya pertumbuhan ekonomi ini serta oleh masih rendahnya investasi serta masih lemahnya kinerja ekspor nonmigas yang pada gilirannya menekan pertumbuhan sektor industri yang selama ini menjadi penggerak pertumbuhan.
Di samping berbagai kemajuan yang sudah dicapai, pembangunan daerah dihadapkan. pada permasalahan pokok berupa meningkatnya kesenjangan antara Jawa–Luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia–Kawasan Timur Indonesia, serta antara kota–desa. Pertumbuhan yang tidak seimbang antara. kota-kota besar/metropolitan dengan kota-kota menengah dan kecil dengan pemusatan ekonomi di Pulau Jawa–Bali serta pertumbuhan kota-kota menengah dan kecil serta kawasan perdesaan yang berjalan lambat mengakibatkan berbagai kesenjangan tersebut di atas. Di samping itu, kemampuan masing-masing daerah tidak merata dalam kapasitas kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, pengelolaan keuangan, dan kapasitas anggota legislatif.
Pengembangan wilayah tertinggal dan wilayah perbatasan dihadapkan pada banyaknya wilayah tertinggal yang harus ditangani yang tersebar luas di seluruh pelosok serta panjangnya garis perbatasan darat dan laut antar negara dan banyaknya pulau-pulau terluar yang tidak berpenghuni.
Sedangkan pengembangan kawasan strategis dan cepat tumbuh dihadapkan pada kurangnya kesiapan daerah dalam memanfaatkan peluang yang ada, terbatasnya sumber daya manusia, rendahnya peranan swasta dalam pembangunan, serta terbatasnya jaringan sarana dan prasarana fisik dan ekonomi di daerah.
Kerjasama antardaerah harus ditingkatkan untuk meningkatkan kesatuan nasional dengan mengoptimal skala ekonomi. Dengan demikian peran pernerintah pusat dan pemerintah-pemerintah daerah terhadap pembangunan nasional akan salinor mengisi dan memperkuat.
Peran infrastruktur di samping sebagai penunjang dan prasarana pembangunan, juga untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Meskipun perekonomian mulai membaik, pembangunan infrastruktur masih banyak dihadapkan pada berbagai kendala sehingga dukungan infrastruktur bagi pembangunan secara nasional masih lemah. Kondisi infrastruktur jalan masih dalam keadaan kritis akibat kurangnya dana rehabilitasi dan pemeliharaan, memburuknya kualitas konstruksi jalan, dan meningkatnya pelanggaran kelebihan muatan. Pada tahun 2002 sekitar 43 persen jaringan jalan dalam kondisi rusak ringan dan berat, termasuk sekitar 15.016 km jalan nasional dan jalan propinsi serta sekitar 100. 132 km jalan kabupaten. Kondisi yang sama juga dialami oleh perkeretaapian dan angkutan laut nasional. Kualitas pelayanan dan keselamatan semakin menurun dengan tidak memadainya operasi dan pemeliharaan, serta banyaknya infrastruktur yang telah melampaui umur teknis.
Penyediaan infrastruktur terkait dengan pendayagunaan sumberdaya air terutama untuk penyediaan air irigasi masih memerlukan perhatian besar. Lebih dari 31 persen jaringan irigasi membutuhkan rehabilitasi terutama di daerah-daerah penghasil beras nasional di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Sementara itu fleksibilitas pemanfaatan sumber dana sangat terbatas karena merupakan pinjaman proyek yang bersumber dari luar negeri. Infrastruktur pengendalian daya rusak air terutama untuk pengendalian banjir juga masih belum memadai sehingga di beberapa daerah, bencana banjir menghambat kegiatan ekonomi dan menimbulkan kerusakan baik di permukiman maupun fasilitas publik. Selain itu, kapasitas tampung bangunan penampung air seperti waduk dan bendungan semakin menurun akibat peningkatan sedimentasi sehingga keandalan penyediaan air baik untuk irigasi maupun air baku menjadi menurun.
Kondisi tersebut juga sangat dipengaruhi oleh pertambahan penduduk yang pesat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi dengan penerapan yang tidak ramah lingkungan, dan kurangnya etika dan perilaku yang berpihak pada kepentingan pelestarian lingkungan. Ketiga faktor tersebut akhimya menyebabkan penerapan iptek lebih dimanfaatkan bagi pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui eksploitasi sumber daya alam yang berujung pada kerusakan lingkungan. Kerusakan yang terjadi tidak hanya terbatas pada fisik tetapi juga mengarah pada lingkungan sosial dan budaya, seperti kemiskinan, kelaparan, pelanggaran HAM, dan kepunahan nilai-nilai budaya masyarakat.

4. Masih Adanya Potensi Disintegrasi Bangsa
Sementara itu potensi disintegrasi bangsa masih mewarnai dinamika sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Komitmen terhadap bangsa dan negara yang belum sepenuhnya utuh, primordialisme, serta pemahaman yang sempit terhadap otonomi daerah berpotensi sebagai faktor munculnya benih-benih disintegrasi bangsa yang apabila tidak dikelola dengan balk sangat mungkin mengarah kepada kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu, berbagai kebijakan pemerintah yang kurang memberikan rasa kebersamaan dan keadilan kepada daerah-daerah, kurang meratanya hasil pembangunan, penanganan konflik bernuansa SARA yang memihak kepada salah satu kelompok yang bertikai, atau tidak terakomodasinya aspirasi daerah dapat meningkatkan akumulasi ketidakpuasan dan mendorong ketidakpatuhan kepada pemerintah pusat.














.